Dayak Kantu'

BAB I

A. LATAR BELAKANG

Kebudayaan mempunyai  hubungan timbal balik yang sangat erat dengan agama atau system kepercayaan. Kebudayaan suatu Bangsa sering melahirkan kepercayaan tertentu. Disamping aspek- aspek relegius atau teologius, kepercayaan juga mengandung aspek- aspek social kemasyarakatan, sehingga kepercayaan mempunyai hubungan timbal- balik dengan masyarakat.


Ini berarti kepercayaan dan agama mempengaruhi masyarakat, sebaliknya masyarakat mempengaruhi kepercayaan dan agama.

Apabila pandangan semacam itu dikaitkan dalam system kepercayaan Nenek- moyang “SUKU DAYAK KANTU’ “ maka terdapat semacam persepsi bahwa kepercayaan itu tidak saja mengandung hubungan timbal balik dengan sistim budaya ( budi dan daya ) akan tetapi lebih mewarnai  tata cara “Jadi Saump/ perkawinan.

Dalam hidup perkawinan “burumah tangga”  relgius magis/ sacral dapat diartikan kepada kekuatan yang menguasai alam semesta dan isinya dalam keadaan kesinambungan.

Oleh karena itu dalam melangsungkan upacara hari  “Jadi Saump” masyarakat Suku Dayak Kantu’ sangat berkewajiban mencari ‘HARI BAIK BULAN BAIK”  dalam melangsungkan tata cara/ upacara perkawinan – “Jadi Saump” dengsn melihat tanda- tanda alam atau mimpi pada mereka.

Hal ini diyakini guna menjaga kelangsungan hidup “BERUMAH TANGGA” sehat jasmani dan rohani , sejahtera dan diberikankan keturunan (Gerai nyamai, penjai umur, murah rezeki, dan berana ucu’ mayuh) yang terwujud berkat adanya kekuatan gaib.

Nenek moyang Suku Dayak Kantu’ dan diturunkan sampai sekarang melalui orang tua  yang diteruskan kepada anak, dan anak kepada cucu, kemungkinan dan kemapuan untuk berkomunikasi dangan Alam; baik dengan alam gaib maupun dengan alam nyata tidak banyak menjadi pertanyaan dengan kehidupan mereka.

Karena meraka selalu memelihara dan menganut pengetahuan dan kepercayaan pada tanda- tanda alam tersebut. Misalnya : Kalau ada keluarga dekat dari calon mempelai yang meninggal dunia waktu dalam pertunagan sampai kepada upacara Jadi Saump maka adat mereka melarang untuk melangsungkan pernikahan/ jadi saum dibatalkan; mungkin bias dilangsungkan dalam batas waktu tertentu, disinilah Adat Budaya Suku Dayak Kantu’ mengikat:

 

B. MANAJEMAN RUMAH PANJAI DIKAITKAN DENGAN ADAT “JADI SAUMP”

Kelangsungan hidup dan kehidupan atau budaya Dayak Kantu’ tidak dapat dipisahkan dari tata ruang lingkungan mereka, khususnya rumah.

Bangunan temat tinggal atau rumah tradisional mereka disebut “RUMAH PANJAI”, yakni sebuah rumah yang berbentuk memanjang terdiri dari puluhan atau ratusan bilik dengan ruang tamu yang tidak berbatas dinding yang disebut dengan “Ruai”.

Rumah panjai memiliki multi fungsi, selain sebagai tempat berteduh juga sebagi tempat pertahanan dari ancaman binatang buas atau ancaman musuh; serta untuk melakukan kegiatan reproduksi termasuk diantaranya untuk mengadakan upacara “jadi saump”, serta tempat mengatur tata kehidupan masyarakat.

Sistem kepercayaan atau agama yang kaitannya dengan tata kerama “Rumah Panjai” bagi kelomopk masyarakat Dayak Kantu’ hampir- hampir tidak dapat dipisahkan dengan nilai- nilai kehidupan social mereka sehari- hari.

Kelompok Masyarakat Dayak Kantu’memiliki system kepercayaan yang kompleks dan berkembang atau dinamis. Kompleksitas system kepercayaan Nenek- moyang Dayak Kantu’ mengandung dua hal prinsip, yaitu :

 

1. Unsur kepercayaan nenek- moyang yang menekankan pada pemujaan roh- roh gaib, dan alam semesta.

2.  Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ( Raja Mantala – Aalah Ta’ la ) dan merupakan suatu prima alam semesta.

Kompleksitasnya system kepercayaan Suku Dayak Kantu’ ditandai juga oleh kemampuan mereka menyerap beberapa unsur keagamaan atau unsur kepercayaan dari luar, seperti pengaruh China dalam penggunaan barang- barang keramik, piring porselen dan tempayan ( Tajau) yang mereka yakini memiliki kekuatan megis dan dapat mendatangkan keberuntungan; maupun pengguinaan dekorasi “Naga” yang melambangkan secara “mitologis” Tuhan Tertinggi – Alah Ta’ la – Raja Mantala yang satu sebagai pengasa dunia dan alam semesta.

Barang- barang dari China  (zaman Dinasti Ming), Enggang (Tenyalang) dan Naga dalam Masyarakat Dayak Kantu’ merupakan satu kesatuan manifestasi dari Organisasi Sosial Mereka, yang nyata terlihat dari Adat- istiadat – budaya “ Jadi Saump”.

Unsur penting dalam Organisasi Sosial Rimah Panjai Masyarakat Suku Dayak Kantu’ yang di lambangkan oleh macam- macam hal tersebut, khususnya burung Enggang dan Naga merupakan bentuk kebudayaan yang lebih tinggi, dalam kaitannya dengan Adat jadi saump bulu burung Ruai adalah Lambang keindahan dan kebahagiaan.

Ini menunjukan bahwa Suku Dayak Kantu’, merupakan bagian integral dari alam semesta, yang menghendaki seseorang wajib menyesuaikan diri dengan tata- cara yang ditetapkan oleh alam semesta dengan merujuk kepada kehidupan Bintangmuga dan Ruaimana, khususnya dalam adat “Jadi Saump”.

Demikian pula untuk emnjaga agar kesimbangan alam semesta termasuk relegio magis oleh masyarakat disepakati berbagai ketentuan atau norma/ adat yang harus ditaati dan dipatuhi.

Oleh karena itu jangan heran kalau masih banyak warga Masyarakat Dayak Kantu’ yang mengerti dengan baik tanda- tanda alam< percaya dan menjalin hubungan dengan alam, terutama melalui symbol dan lambang.

 

C. TUJUAN PENULISAN

Mengiangat masih sangat jarang sekali Penulis yang menyususn tentang adat- istiadat – Budaya Dayak Kantu’ baik oleh Akademisi maupun oleh para Penjelajah; serta mengingat peranan Adat- istiadat, Budaya sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan dan penghidupan Berbangsa dan Bernegara, serta banyak kalangan mendorong untuk menyususn Adat- Budaya yang diwariskan Nenek moyang; khususnya tentang Adat-istiadat – Budaya tentang tata cara “PERKAWAINAN SUKU DAYAK KANTU’ “, baik masa dahulu maupun masa sekarang maka TIM PENYUSUN buku ini, dibawah judul “ ADAT- ISTIADAT – BUDAYA DAN TATA CARA JADI SAUMP SUKU DAYAK KANTU’ “ dengan segala keterbatasan yang ada memberenikan diri.

Karena, tanpa mengetahui seluk beluk adat- istiadat dan budaya suatu daerah dan rasa cinta kepada kebudayaan local- tradisional tentunya akan sulit mewujudkan “Masyarakat yang beradat, beradab, bermartabat seperti yang dicita- citakan Pemerinta melalui “REVOLUSI MENTAL”.

Atau dengan kata lain, tujuan penulisan Buku kecil ini adalah ingin menyebar luaskan Adat- istiadat – Buadaya Suku Dayak Kantu’, khususnya tata- cara “Adat- istiadat – Budaya dan tata cara Perkawinan “Jadi Saump” Suku Dayak Kantu’  guna mengingatkan kembali para Generasi Muda masyarakat Adat Suku Dayak Kantu’, menambah pengetahuan para pembaca dan masyarakat luas lainnya.

 

D. SUMBER INFORMASI

Sumber informasi dan data yang digunakan sebagai bahan penyusunan tulisan ini adalah data sekunder yang diperolah dari :

1. Buku Legenda Adat dan Budaya DAYAK KANTUK serta sejarah KEBANGKITAN DAYAK KALIMANTAN Barat; DITULIS OLEH Bapak L H Kadir Tokoh Masyarakat Suku Dayak Kantu’’ Mantan Wakil Gubernus Kalimantan Barat, 2003 – 2008).

2. Sumber dari para Temenggung dan Ketua Adat serta Tokoh dan Pemuka Masyarakat Adat Suku Dayak Kantu’ di Kapuas Hulu Kalimantan Barat.

3.  Buku referensi dan literatur- literature lainnya.

 

E. METODOLOGI PENULISAN

Metodologi pendekatan penulisan dengan mewawacarai Nara Sumber tertama mengenai Adat – istiadat  dan Budaya Dayak Kantu’, khususnya mengenai Tata cara Perkawinan atau Jadi Saump.

 

F. ORGANISASI PENULISAN

Bab. I  : Dalam bab ini diuraikan, latar belakang dalam Rumah Panjai yang dikaitkan dengan Adat- istiadat  dan Budaya Perkawianan “Jadi Saump” dan organisasi Penulisan.

Bab ini memuat garis besar Adat- istiada dan Budaya Dayak Kantu’ , khususnya ADAT ISTIADA DAN BUDAYA MASYARAKAT ADAT SUKU DAYAK KANTU’ guna mengantar pembaca kedalam materi sesungguhnya.

 

Lalu Bab II : memuat peraga alat dan bahan dalam Adat- istiadat dan tata cara “Jadi Saum”, dan alat pada  adat pendukung lainnya.

Kemudian pada Bab III: memuat tetang Dayak Kantu’ dalam Sejarah Kebudayaan dikaitkan dengan Budaya “Jadi Saump”. Sementara  Bab IV, Mengenai Transpormasi Budaya Dayak Kantu’ dikaitkan dengan Adat- istiada Perkawinan.

 

BAB II

PERAGA ADAT, ALAT DAN BAHAN DALAM ADAT- ISTIADAT BUDAYA

JADI SAUMP SUKU DAYAK KANTU KAPUAS HULU

Barang kali ada baiknya dikemukakan dahulu, bahwa hukum Adat Dayak Kantu’ dinilai dengan Piring (Porselen ). Piring Porselen menjadi alat pembayaran, mahar atrau konpensasi atas hukum Adat. Seperti pada pernikahan adat Kawin, Jadi  – Saump, selain uang untuk biaya pesta dan perhiasan emas, mas kawin yang merupakan sarat penting adalah piring porselen putih dan mangkok putih>.

Sanksi Adat yang berlaku bagi pembatalan Perkawinan juga digargai dengan membayar sejumlah Piring Porselen yang sudah ditentukan oleh hukum batal kawin (Balang Kawin). 

Peninjauan hukum Adat- istiadat Suku Dayak Kantu’ di Kabupaten Kapuas Hulu oleh para Fungsionaris Adat ( Temenggung, Ketua Adat, Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda dan Tokoh Wanita dilaksanakan dalam kurun waktu lia tahun sekali, yang sudah barang tentu tidakl boleh menyimpang dari hakekat sesungguhnya.

Hal ini dikarenakan, ADAT- ISTIADAT DAN BUDAYA SUKU DAYAK KANTU’ berjalan sesuai dengan perkembangan zaman, dinamis dan terbuka.

Oleh karena itu, dalam paparan mengenai Adat- istiadat dan budaya Jadi Saump sering mengalamai perubahan dari masa kemasa, hal inilah yang menunjukan bahwa Adat- istiadat dan Budaya Suku Dayak Kantu’ sangat terbuka dengan perkembangan zaman.

Adat- istiadat dan budaya Dayak Kantu’ seperti pernah dijelaskan diatas, ditinjau 5 (lima ) tahun sekali;  berikut ini “PERAGA ADAT- ISTIADAT DAN BUDAYA JADI SAUMP SUKU DAYAK KANTU’ sebagai berikut :

 

I. ZAMAN DAHULU

 

1.  Bahan- bahan yang diperlukan :

 

a.  Sirih, Pinang, Kapur Sirih, Cambir< Jerangau, Kencur dan perlengkapan sirih pinang lainnya.

 

b. AYAM Kampung 1 ekor, kalau Jantan Sudang Tumbuh Ekor/ Rambai ( Sudah bujang); kalau Betina sudah bias bertelor ( Sudah dara).

 
2.  Alat- alat yang diperlukan:

 

a.  Selung ( Gelang Tembaga ).

 

b.  KAIN Bindu’ ( Tenunan ikat Dayak Kantu’ ).

 

c.  Kepua’ Kumbu’ ( Tenunan ikat Dayak Kantu’ ).

 

d.  Baju Adat Laki- laki ( Baju Rompi ).

 

e.  Sirat ( Cawat ).

 

f.   Baku’ ( Tempat sirih – pinang dari tembaga ).

 

g.  Kacup ( Alat untuk membelah pinang terbuat dari besi ).

 

h.  Napan kuningan (Par )

 

i.   Beras Kunyit ( Beras yang dilumur dengan kunyit).

 

Sehubungan dengan perkembangan zaman, maka perkembangan Adat “Jadi Saump” setelah ditinjau – berubah  sebagai berikut :

  

II. ZAMAN PERUBAHAN

Adat zaman dahulu, alat – peraga Adat  ditambah 12  (Dua belas ) jenis pakaian Perempuan. Seperti : Bedak, sabun dan lain sebagainya.

Lalu menurut  “BUKU ADAT DAYAK KANTU’ ; hasil musyawarah Adat SUKU DAYAK KANTU’ , SEBAGAI BERIKU ;


A. KETENTUAN HUKUM ADAT SUKU DAYAK KANTU’ dalam perubahan II, 1 Januari 1995 di Desa Teluk Sindur, Kecamatan Manday Kapuas Hulu, adalah :

 

1.  PERKAWINAN :

 

a.  Bahan : Tidak ada perubahan.

 

b.  Alat : Piring Porselen 40  singkap (Buah ),  Cincin kawin 2 bentuk ( laki- laki dan perempuan)

 

2.  BATAL TUNANG :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : Piring Porselen 15 singkap (buah ).

 

3.  BETUNANG LEBIH DARI SATU KALI :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : Piring Porselen 30 Singkap (Buah ).

 

4.  KAWIN LEBIH DARI SATU KALI :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : ditambah Piring Porselen 100 buah, menjadi 140 buah.

 

5.  KAWIN  LEBIH DARI SATU KALI ISTRI PERTAMA DICERAIKAN :

 

a.  Bahan : -

 

b.  Alat : Piring Porselen 150 buah.

 

6.  NGAMPANG (HAMIL DILUAR NIKAH ) :

 

a.  Bahan : 3 ekor Babi  @ 35 kg keatas.

 

b.  Alat :  -

 

7.  ORANG TUA NYANGKAL ANAKNYA NGAMPANG (HAMIL ) :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : Piring Porselen 10 buah.

 

8.  CERAI ( SARAK ) :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : Piring Porselen 50 Buah.

 

9.  CERAI ISTRI/ SUAMI DALAM KEADAAN SAKIT :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : Piring Porselen 100 buah.

 

10.   BILA ISTERI SEDANG HAMIL DICERAIKAN :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : Piring Porselen 70 buah, uang untuk ongkos melahirkan dan biaya anaknya sampai dewasa.

 

11.   BERZINAH ( BUTANG BEDUSA ) :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : Piring Porselen (masing- masing ) 80 buah.

 

12.   BILA KEDUANYA MASIH PUNYA PASANGAN :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : Piring Porselen (masing- masing )  120 buah.

 

13.   BERANGKAT/PERANGKAT TULANG :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : Piring Porselen 60 buah.

 

14.   PEMERKOSAAN :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : Piring Porselen 60 buah.

 

15.   MEMPERKOSA ANAK DIBAWAH UMUR :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : Piring Porselen 120 buah.

 

16.   MEMPERKOSA ORANG CACAT ATAU SAKIT:

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : Piring Porselen 90 buah.

 

17.   SALAH BASA :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : Piring Porselen 2 buah.

 

 

B. BUKU ADAT SUKU KANTU’ 

Dalam Perubahan ke III (Debalei’/ Deapeih III ); 6 Mei 2001 di Desa Teluk Sindur Kecamatan Manday Kabupaten Kapuas Hulu :

 

1.  NGUANG URAKNG/ MERAJA :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : laki- laki 100 buah; perempuan 50 buah.

 

2.  PERTUNANGAN :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat :  Mas Kawin 40 Buah, Cincan 1 bentuk (emas belah rotan ).

 

3.  BATAL TUNANG  :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : 15 buah .

 

4.  MELAKUKAN PERTUNANGAN DENGAN ORANG YANG MASIH TERIKAT PERTUNANGAN DENGAN ORANG LAIN :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : 100 buah

 

5.  BERTUNANG LEBIH DARI SATU KALI :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : 50 buah.

 

6.  NIKAH/ KAWIN LEBIH DARI SATU KALI :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : 150 buah.

 

7.  MENCERAIKAN ISTRI DALAM KEADAN SAKIT :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : 200 buah.

 

8.  CERAI/ SARAK :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : 50 buah.

 

9.  BUTANG BEDUSA :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : 100 buah.

 

10.   BUTANG BEDUSA DAN CERAI/ SARAK :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : 160 buah.

 

11.   PERANGKAT/ BERANGAT TULANG :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : 60 buah.

 

12.   PELEPAEH BALU ( Janda/ Duda ) :

 

a.  Bahan : -

 

b.  Alat : Beras 1 Gantang/ kulak; Piring Porselen 1 Singkap; Tempayan 1 buah; Ayam 1 ekor; Potong Besi  1 buah; benang 1 gulung.

 

13.   MENCOBA MEMPERKOSA ANAK- ANAK :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : 100 buah.

 

14.   MEMPERKOSA ANAK- ANAK :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : 400 buah.

 

15.   MENCOBA MEMPERKOSA ORANG DEWASA :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : 60 buah.

 

16.   MEMPERKOSA ORANG DEWASA :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : 300 buah.

 

17.   MEMPERKOSA ORANG CACAT ATAU SAKIT :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : 350 buah.

 

18.   BUTANG RANGKAI/ BERZINAH :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : 40 buah.

 

19.   SALAH BASA :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : 10 buah.

 

C. KETENTUAN ADAT DAN BUDAYA SUKU DAYAK KANTU’

Perubahan ke IV  di Bika Hulu, Kecamatan Mamday Kabupaten Kapuas Hulu, 6 sampai 9 Mei 2006 :

 

1.  NGUANG URAKNG:

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat :  Laki- laki 100 buah; Perempuan 50 buah; Pembantu ( Urakng te nganjung ) 25 buah; Orang Tua 10 buah.

 

2.  PERTUNANGAN :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : 1 bentuk cincin emas, 40 singkap Piring porselen.

 

3.  BATAL TUNANG :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : 15 buah dan Supan orang tua 10 buah.

 

4.  MELAKUKAN PERTUNANGAN LEBIH DARI SATU KALI :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : 50 buah.

 

5.  NIKAH SEMENTARA :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : 110 buah.

 

6.  KAWIN LEBIH DARI SATU :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : 150 buah.

 

7.  MENCERAIKAN ISTRI DALAM KEADAAN SAKIT:

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : 200 buah

 

8.  NGAMPANG (HAMIL DILUAR NIKAH ):

 

a.  Bahan : 3 ekor babi.

 

b.  Alat : Lak- laki 200 buah, Perempuan 50 buah.

 

c.  Keluarga nyangkal anak gadisnya hamil : 10 buah.

 

9.  CARAI/ SARAK :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : 50 buah ( Pemuai ),

 

c.  Salah satu Pihak sakit : 100 buah>

 

d.  Suami menceraikan istri sedang hamil : 70 buah.

 

e.  Pihak ke tiga;: 60 buah.

 

10.   BUTANG BEDUSA/ PERZINAHAN :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : 100 buah masing- masing; mengakibatkan perceraian 160 buah; masing- masing pihak masih terikan perkawinan 240 buah.

 

11.   PERANGKAT TULANG :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : 60 buah.

 

12.   PELEPAS BALU :

 

a.  Bahan : 1 ekor ayam.

 

b.  Alat : Satu singkap piring porselen, satu buah tempayan, satu gantang beras, satu potong besi, satu gulung benang jahit.

 

13.   PEMERKOSAAN :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : Mencoba melakukan pemerkosaan anak_ anak 100 buah, Sudah melakukan Pemerkosaan terhadap anak- anak 400 buah, memperkosaan orang cacat/ sakit 350 buah.

 

14.   SALAH BASA :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : 10  buah.

 

15.   BUTANG RANGKAI :

 

a.  Bahan :  -

 

b.  Alat : 40 buah.

 

16.   PALAI MATA :

 

a.  Bahan :  2 ekor ayam.

 

b.  Alat :  -

 

JADI SAUMP DALAM SEJARAH KEBUDAYAAN SUKU DAYAK KANTU’

A. KRITIK SOSIAL :

Kritik masa lalu tentang kebudayan Dayak Kantu’  dipusatkan dalam hal- hal semisalnya dengan menggunakan burung  (beburung ), terutama dalam menggelar pekerjaan besar, seperti Gawa’ jadi saump. ANALISIS Penulis telah menggambarkan bahwa setiap aspek dari kebudayaan tradisional ini pada hakekatnya, adalah bagian penting dalam proses adaptasi dari masyarakat dalam menghadapi lingkungan yang rumit dan tidak terduga ini.

Mengingat sering didengar bahwa apa yang diperlukan adalah “Pengembangan Kebudayaan”, maka sumbangan pemikiran didalam buku ini menyarankan apa yang sebenarnya yang diperlukan adalah “Pengakuan dan perlindungan Kebudayaan” itu sendiri, dalam pembahasan kali ini adalah “ ADAT- ISTIADAT, BUDAYA JADI SAUMP” untuk segera diselamatkan, yang sekarang ini sedang dibawah serangan, dan serangan ini adalah merupakan masalah.

Sebagai contoh : “ Masayarakat – orang Dayak Kantu’ sudah banyak yang tidak mengenal lagi Adat- istiadat, budaya dan tata- cara “Jadi Saump” yang sesungguhnya, yang diwariskan leluhurnya.

Patut disesalakn bahwa kesadaran penilaian akan pengetahuan “ Adat- istiadat, tata cara jadi saump”tingkat global tidak selaras dangan adat dan kebudayaan setempat, dimana Adat- istiadat, budaya jadi saump dan system- sistemnya sedang runtuh, sebagai korban dorongan modernisasi.

Terdapat petunjuk, bahwa terlalu sedikit anak- anak muda Suku Dayak Kantu’ yang mengarungi mahligai rumah tangga yang menggunakan Adat- istiadat – upacara Jadi saump. Yang diwariskan oleh para nenek moyang mereka secara turun temurun.

Terlalu sering, perencanaan pembangunan tidak mendukung, bahkan merong- rong, walaupun sering ikali tidak disengaja. Contoh : “Pengembangan “Safari” yang terdiri dari rombopngan besar pelaku dan pembuat kebijakan, lembanga keagamaan yang tuirun kesuatu Desa  dianggap “Tertinggal” sebuah kelengkapan baku dari “Safari” itu, yang biasanya berlangsung singkat adalah : “Pementasan konser oleh para anggota dan rombongan”

Tindakan tersebut, meskipun bertujuan baik bila berdiri sendir, akan tetapi dalam ruang lingkup pembanguinan yang lebih luas “ Bernada anti kebudayaan local”. Yang tersirat didalamnya adalah “Bahwa kebudayan dari luar dikaitkan dengan pembangunan dan kemajuan”, sedangkan kebudayaan asli dikaitkan dengan pembangunan kurang maju”. Ini berimbas besar kepada “Adat- istiadat, kebudayaan  dan tata cara Jadi Saump/ perkawinan Masyakat Suku Dayak Kantu’.

Pengembangan Dari kritik ini, post modern didalam antropologi dan bidang- bidang lainnya telah mengudang perhatian  kebutuhan untuk membedakan Adat istiadat asli, tradisional ini dari pada budaya dari luar.

Runtuhnya budaya Betang Panjang ( Rumah Panjai ) berikut Adat istiadat dan budaya yang terkandung didalamnya, termasuk tata cara Jadi Saump adalah sebuah masalah penting dalam Adat- istiadat dan Budaya Masyarakat Suku Kantu’. Sekarang cerita “Rumah Panjai” adalah suatu Legenda untuk menina bobokan anak kecil.

Pemekaran dalam kesendirian dan kejelasan Kebudayan Dayak Kantu’ termauk didalamnya “Upacara Jadi Saump”  yang terjadi digenerasi lampau adalah selaras dengan pembangunan sekarang.

Penguasa- penguasa Daerah  di Kalimantan Barat mungkin sudah mengakui bahwa “Adat-istiadat dan Budaya umumnya, Adat- istiadat dan Budaya  Dayak Kantu’ ; termasuk diantaranya Adat- istiadat – Budaya  dan tata cara Jadi Saump perlu digal dan dilestarikan, dalam pembangunan social politik dan social ekonomi dan sangat diperlukan untuk pembanguan lebih lanjut.

Salah satu dasar untuk pengakuan ini adalah kepercayaan bahwa Daerah Kalimantan Barat mengetahui lebih baik apa yang mereka butuhkan dari pada apa yang diminta dari pusat, sesuai dengan sifat “OTONOMI DAERAH”. Singkatnya, satu dari dasar untuk dorongan kearah “PELESTARIAN ADAT- ISTIADAT DAN BUDAYA LOKAL” adalah pengakuan yang lebih besar kepada “SUARA MASYARAKAT SETEMPAT”  yang mendiami Kalimatan Barat umumnya, secara khusus Masyarakat Dayak, termasuk didalamnya Dayak Kantu’.

Banyak perencanan pembangunan meletakan kesalahan dipundak kebudayaan asli, yang telah mereka cirikan sebagai hambatana dalam pembangunan. Kini dengan disusnnya tulisan ini, atau yang lainnya serupa; dapat dilihat sisi yang lain dari “Masalah ini”  Hendaknya diakui bahwa serangan kepada kebudayan asli, khususnya Adat- istiadat dan Budaya Suku Dayak Kantu’ termasuk serangan  kepada Adat- istiadat  dan Buidaya  serta tata cara Jadi Saump bukanlah bagian dari pemecahan masalah, melainkan bagian dari masalah itu sendiri.

Dapat dipandang bahwa Adat- istiadat dan Budaya Dayak Kantu’ adalah asset yang tidak ternilai; khususnya “Adat- istiadat Budaya dan tata cara perkawinan  Jadi Saump”. Bersyukurlah bahwa “asset” semacam ini ada.

  

B. KEPERCAYAAN DALAM MASYARAKAT DAYAK KANTU’

1.  Legenda Bintangmuga dan Ruaimana:

Bumi menjadi pusat semesta dalam kisah penciptaan Dayak Kantu’. Merawat dan menjaganya menjadi point penting dalam tata Adat- istiaadat dan Budaya Masyarakat Dayak Kantu’  Legenda Bintangmuga dan Ruaimana sengaja Penulis paparkan disini, karena menurut kepercayaan Suku Dayak Kantu’ disinlah Adat- istiadat dan Budaya Dayak Kantu’ pertama kali diukir; termasuk Adat- istiadat, Budaya dan tata cara Jadi Saump.

Pada mulanya adalah Bumi, dengan gunung dan lembah, Sungai serta Danau sebagai Sumber resapan air. Lalu kemudian rumpuit, serta kayu, rotan dan akar/sulur- suluran. Untuk selanjutnya Raja Mantala menciptakan Angkasa Luas, Bulan dan Bintang serta seluruh Tata Surya.

Kemudian Raja Mantala menciptakan sepasang manusia laki- laki dan perempuan, yang diberi nama Bintangmuga dan Ruaimana.

Konon kisahnya, pada awalnya Raja Mantala (sebutan Tuhan ) bagi Suku Dayak Kantu’ hendak membikin manusia dari kayu belian atau kayu Ulin (pohon yang pernah tumbuh subur di Kalimatan dan sekarang telah langka); namun Ngkerasak (seekor burung kecil – yang lebih dahu diciptakannya ) memintanya mengganti dengan Batang Pisang (Ruran ), agar Bumi tidak cepat penuh sesak. Karena usia Pisang tidak sepanjang pohon Ulin, juga Pisang bias cepat beregenerasi atau beranak- pinak.

Lalu Bintangmuga dan Ruaimana mempunya keturunan berupa Manusia, Hewan, Tumbuh- tumbuhan dan Roh Halus yang tinggal dihutan.

Sikap Manusia kalau tidak hormat terhadap anak- cucu Bintangmuga dan Ruaiman diyakinn bias kena  membawa malapetaka. Disinilah Adat- istiadat, Budaya dan Kepercayaan Suku Dayak Kantu’ mulai diukir.

 

Dari legenda kejadian ini, penciptaan Alam Semesta oleh Raja Mantala dapat dibagi kedalam empat tahap, yaitu :

a.  Pertama, Raja Mantala menciptakan tanah (Bumi) dalam keadaan Tandus dan tidak berpenghuni. Selanjutnya diciptakannya Bukit dan Lembah Ngarai yang dalam.

 

b.  Raja Mantala, pada tahap kedua agar tanah tidak tandus maka diciptakannya rumput dan kayu.

 

c.  Pada tahap ketiga< Raja Mantala menciptakan angkasa luas (langit ) dan Bulan dan seluruh Tata Surya.

 

d.  Pada tahap terakhir barulah Raja Mantala menciptakan Manusia, yaitu Bintangmuga dan Ruaimana.

 

Dalam renung tusust ( Sisilah Pencipitaan) penciptaan isi alam setelah kelahiran anak- anak Bintangmuga dan Ruaimana dilukiskan sebagai berikut :

 

a. Pertama; kandung tubah de’ Bangah Muah, siku’ tebiah kealam tanah  nyadi penembah Ringgong Idung, ti dejejenang urakng “Nika Pulang Gana”, penguasa atas tanah dan air.

 

b. Kedua : kandung dulau de’ papa’ palau siko’ ditikau kelalau dua begandung, nya’ tenyadi Dayang Lemia. Artinya Satu anaknya dilempar kepohon Lalau/ Kayu tempat Lebah Madu besarang, itulah yang disebut Dayang Lemia/ Lembia; yang menguasai pepohonan.

 

c. Ketiga ; anaknya lahir dari kandung kecil dan menghilang kepegunungan; yang disebut Dayang Semita Bunga; penguasa atas Bukit dan Pegunungan.

 

d. Keempat ; anaknya lahir dari kandung muda, dimakamkan disemak belukar yang kemudian menjelma menjadi “Kamba’ Baba”  (Mahluk halus yang bisa menjelma menyerupai manusia).

 

e. Kelima ; anak yang dilahirkan kemudian meninggal, dan dimakamkan didalam hutan sunyi- sepi, senyap, itu yang menjadi “Buau Nyada”. (Sejenis mahluk halus yang bisa bersuara seperti manusia).

 

f.  Keenam ; anak yang lain, diantar kelembah yang dalam, yang kemudia disebut “Untang Anta” ( Penguasa atas lembah dan ngarai ).

 

g.  Ketujuh ; kandung yang anaknya keguguran, bayinya dimakamkan kedalam huta; yang kemudian menjadi “Gendih” (Tumpuk tanah yang menyerupai Manusia) yang  pantang digarap untuk pertanian sepanjang masa.

 

h.  Kedelapan ; satu lagi anak yang dimakamkan dibatang klayu yang  lapuk, itulah yang menjadi “Iba’ Tedung” atau Ular Kobra yang sangat berbisa.

 

i.  Kesembilan ; anak lain diantar kedanau, itulah yang kemudian menjadi “Raja Buaya”.

 

j.  Kesepuluh ; anak yanmg diantar keujung Danau, itu yang kemudian menjadi Raja Duata (Penguasa keadilan ).

 

k. Kesebelas ; bayinya yang keguguran kemudian dimakamkan dihutan Belantar; ITU YANG KEMUDIAN MENJADI “Parasit”.

 

l.  Kedua belas; satu anak lagi tinggal dipokok kayu yang sudah mati, itulah yang kemudian menjadi “Burung Garuna (Elang Garuda) Sengalan Burung. Induk dari segala Burung.

 

m. Ketiga belas ; hamil dan melahirkan terus menerus, seperti bungkusan cucian basah, satu anaknya diletakan ditenag hutan lindun; itulah yang kemudian menjadi Monyet (Bekatan) putih belang dibagianb punggungnya.


Dengan berpegang teguh kepada Legenda tersebut dan bunyi Burung seperti :Bejampung, Memuaeh, Papau, Ketupung, BeragaiNenak, lemia Telok  (Yang adalah anak dari Sengalang Burung )  dan beberapa pertanda alam lainnya . Dan jenis burung- burung ini dilegendakan sebagai saudara tua dan kicauannya akan menjadi pemandu aktivitas keseharian, disinilah Suku Dayak Kantu’ meletakan Adat- istiadat dan Budayanya. Termasuk Adat- Istiadat dan Budaya Jadi Saump.

  

C. KEPERCAYAAN DAN AGAMA

Sistem kepercayaan Nenek- moyang dalam Adat- istiadat, tata cara Perkawinan – Jadi Saump.

Sistem kepercayaan atau Agama bagi  Masyarakat Dayak Kantu’ hampir- hampir tidak dapat dipisahkan dengan nilai- nilai social kehidupan mereka sehari- hari.

Kebudayaan Rumah Panjai (Betang Panjang ) sangat erat kaitannya dengan Adat- istiadat dan Budaya Mereka, disanalah pusat kebudayaan dan kegiatan hidup Suku Dayak Kantu’ berlangsung, termasuk didalamnya “UPACARA JADI SAUMP’YANG MERUPAKAN SALAH SATU Gawa’ besar dan sangat sacral saat ini.

Sakralnya Adat- istiadat dan Budaya Jadi Saump, dikarenakan  mengandung arti bahwa kedua mempelai  akan mengarungi hidup baru, hidup berumah tanga dan menyatukan keluaraga besar kedua mempelai menjadi satu kesatuan. Lalu yang kedua Adat Suku Dayak Kantu’ tidak mengenal poligami dan poliandri, kecuali maut yang memisahkan mereka.

Ini berarti bahwa  kepribadian, tingkah laku, sikap, perbuatan dan kegiatan social orang Dayak Kantu’ sehari- hari dibimbing, didukung oleh dan dihubungkan tidak saja dengan system kepercayaan atau ajaran dan adat, tetapi juga dengan nilai budaya dan etnisitas. Dengan demikian respons mereka terhadap sitimulus atau tekanan dari luar sering didasakan pada kompleksitas unsur- unsur diatas.

Dayak Kantu’ memiliki system kepercayaan yang kompleks dan sangat berkembang.  Kompleksitas system kepercayaan berdasarkan tradisi dalam    Masyarakat Dayak Kantu’ mengandung dua prinsip, yaitu: “Dalam prinsip pertama berpijak pada unsur kepercayan/Agama Nenek- moyang mereka yang menekankan pada pemujaan Roh Halusdan roh- roh Nenek- moyang yang sudah meninggal. Sedangkan prisip kedua  berpegang pada terhadap “TUHAN YANG ESA” Raja Mantala, dengan kekuasaan teretinggi dan merupakan suatu prima causa dari kehidupan manusia.

Sistem Kepercayaan Nenek- Moyang  dalam masyarakat Dayak Kantu’ berisi berbagai peraturan tentang “ Hubungan Manusia dengan Tuhan< Manusia dengan Manusia, Manusia denganRoh Halus dan Roh Nenek- Moyang dan Manusia dengan Alam beserta isinya”.

Tuhan tertinggai yang satu, memiliki dua fungsi atau karakter Ketuhanan, yaitu : “ Karakter yang satu mendiami dunia atas  atau dunia yang lebih tinggi, sedangkan karakter yang lain “tinggal dibawah” atau yang lebih “rendah”.

Kompleksitas system kepercayaan Suku Dayak Kantu’ ditandai juga oleh kemampuan meraka menyerap beberapa unsur keagamnaan atau kepercayaan dari luar, seperti barang- barang keramik piring mangkok ( Porselen ) dari China.

Dalam penggunaan barang- barang keramik, seperti Piring- Mangkok dan Tempayan yang dianggap memiliki kekuatan magis dan dapat mendatangkan keuntungan , keberuntungan. Juga penggunana bermacam- macam dekorasi “Naga” yang melambangkan secara metologis Tuhan Yang Tertinggi, yang satu sebagai Penguasa Dunia ini  menunjukan  sangat jelas bahwa Masyarakat Dayak Kantu’ adalah masyarakat yang dinamis dan terbuka. Pengaruh klain berasal dari Hiduisme dan Islamisme.

Penggunaan “Burubg Enggang ( Tenyalang)< Naga adalah  symbol kesatria  bagi Masyarakat Dayak Kantu’ sedangkan symbol “Burung Ruai ( Merak )” adalah lambang keindahan; yang sering terdapat dalam Upacara Jadi Saump.

Kedudukan lebih tinggio Burung Ruai, yang bulunya digunakan ( Telujuk ) dalam acara Jadi Saump adalah lambang keindahan hidup berumah tangga, ini tidak saja merupakan manifestasi fakta filsofis tentang keberadaan social kehidupan semata, tetapai kelanggengan hidup berumah tangga dengan segala kelengkapannya; juga dari fakta kongrit dan riil dimana kehidupan “Jadi Saump” adalah basis utama dari social kehidupan, ekonomi dan politik kelompok etnik Dayak Kantu’.

Disudut lain symbol kesatriaan dilambangkan dengan Burung Enggang (Tenyalang ) menunjukan bahwa walaupun anggota Masyarakat Dayak Kantu’ bersifat terbuka dan tidak berprasangka buruk terhadap pendatang dari luar, tidak dengan sendirinya berarti bahwa mereka  tidak lagi menilai atau atau menghargai pengaruh entern atau kelompoknya sebagai kekuatan  atau lebih rendah disbanding dengan sumber atau pengaruh luar atau asing. Konsep ini menjelaskan pentingnya peranan kehidupan berumah tangga  yang diwujudkan dalam “Jadi Saump”.

Tuhan Tertinggi, Yang Satu atau Esa yang mendiami dunia atas dan dunia bawah, setellah serangkaian upacara Jadi Saump, diyakini sudah merestuai hidupo berumah tangga, sebab menurut mereka Tuhan ( Raja Mantala) adalah pengayom dalam kehidupan dan penghidupan  serta kepentingan mereka terhadap keberadaan dan lingkungan hidup.

Dalam mengasosiasikan symbol atau lambang dapat muncul secara spontan pernyataan, perasaan atau sekurang- kurangnya sikap untuk mempercayaai atau mematuhi ; misalnya dalam melangsungkan Upacara Jadi saump mereka akan mencari- cari hari dan mengamati tanda- tanda alam yang mungkin dapat dijadikan penuntun , sebagai usaha mencari hari baik bulan baik.

Simbol- symbol tersebut dapat berupa buntat ( tanda alam yang diperoleh atau ditemui  dalam keadaan tidak normal atau berbentuk aneh), atau batu yang memiliki kekuatan gaib, maupun tanda- tanda alam yang baru muncul pada saat akan atau sedang melakukan kegiatan, misalnya  bunyi burung tertentu.

Masyarakat Dayak Kantu’ masih mempunyai tanda- tanda alam sekitarnya  yang memberi arti atau lambang dalam kehidupan sehari- hari. Ada tanda  yang memberi arti positif , ada juga tanda yang memberi arti negative. Nisalnya dalam masa berutnangan kedua calon mempelan  tidak boleh mendengar bunyi Rusa ( Pangkaeh Rusa’ )  waktu malam, tidak boleh mendengar kayu rebah waktu malam, tidak boleh ada keluarga dekat yang meninggal dunia; dan tidak boleh ada mimpi yang tidak baik waktu tidur ( mimpi kesal ) dan lain sebagainya.

  

D. PENDIDIKAN DAN PEMBAURAN

Sistem perwarisan lisan dari Nenek- moyang, misalnya tata cara “Jadi Saump” menjadi semakin lemah seiring dengabn kesadaran akan pengaruh pendidikan formal. Semakin tinggi tingkat kesadaran akan penting oendidikan formal semakin besar penmgaruhnya terhadap pengaruh Adat- istiadat dan Budaya tradisional, hal ini semakin tampak dari semakin banyaknya kaum muda dari daerah terpencil yang melanjutkan Sekolahnya kekota- kota Kabupaten atau Propinsi bahkan ke Ibu Negara.

Dengan demikian, keterlibatan dan hubungan dengan system “Adat- istiadat dan Budaya  termasuk didalamnya Tata cara Jadi Saump tradisional dikampung menjadi berkurang, bahkan cendrung akan terputus.

Hal ini ditambah lagi dengan banyaknya anak muda yang kawin pembauran, misalnya anak dari Masyarakat  Suku Dayak Kantu’ kawin dengan Suku Dayak lain, atau dengan Flores, Batak, Jawa dan lain sebagainya turut memperlemah perkembangan  Adat dan tata cara Suku Dayak Kantu’, khususnya tentang Adat- istiadat Jadi Saump tradisional, Karena pengertian dan penguasaan tentang tradisi dan tata cara masyakatnya ( Suku Dayak Kantu’ ) menjadi berkurang.

 

E.  AGAMA BARU

SUKU dayak Kantu’ pada awalnya disebut menganut paham/kepercayaan animism, tetapi bila ditelaah lebih jauh kepercayaan Hindu – Kaharingan  banyak mempengarurhi budaya mereka.

Agama leluhur Suku Dayak Kantu’ lebih banyak menekankan ritual dalam kehidupan, terutama upacara ritual dalam Pertanian. Agama asli Suku Dayak Kantu’ kian lama kian ditinggalkan. Sehinga Adat – Kebiasaan mereka turut tercerabut dari akarnya, namun demikian masih banyak juga Masyarakat Dayak Kantu’ yang masih tinggal dikampung  masih ada juga yang mengetahui peninggalan Nenek- moyang mereka.

Kini masyarakat Dayak  Kantu’ yang menganut paham animis itu, sebagian besar telah menganut Agama Nasarani ( Katholik dan Kristen ), mereka yang menganut Agama Islam memisahkan diri dari Sukunya dan menjadi Senganan ( Melayu ), bahasanyapun berubah menyerupai “Bahas Melayu Riau”.

Agama Katholik dan Kristen/ Protestan dianggap sebagai Agama mereka.  Masuknya ajaran Katholik dan Kristen – Protestan kedalam Masyarakat Dayak Kantu’ turut mempercepat berubahnya beberapa Adat- istiadat dan Budaya, hal ini sangat terasa sekali dalam Adat dan Budaya Jadi Saump – Perkawinan.

Dikalangan Generasi Muda Dayak Kantu’, hampir- hampir tidak mengenal “Adat- istiadat dan Budaya Jadi Saump (Perkawinan ) yang diwariskan oleh Nenek Moyang mereka.  Pandangan yang menganggap bahwa tradisi “Jadi Saump”  tidak sesuai dengan ajaran Kristiani, telah menyebabkan Adat- istiadat Jadi Saump hasil warisan Nenek – moyang mereka serta peralatan yang menyertainya menjadi terkucilkan.

Disamping itu ada  berangapan bahwa Adat- istiadat dan Budaya serta tata cara Jadi Saump – perkawinan ribet dan bertele- tele.  Hilangnya Adat- istiadat dan Budaya  Dayak Kantu’  tersebut akan menyebabkan hilkangnya segala Peraga Adat yang menyertainya. Upacara “BEKITAU’ misalnya yang sarat dengan nilai seni dan budaya dan nilai relegi sacral asli Masyarakat Dayak Kantu’ telah sekian lama mendapat tekanan dan pengucilan, sehingga asing ditelinga; karena dianggap menyembah berhala.

Ritus relegi Masyarakat Suku Dayak Kantu’, khususnya relegi Jadi Saump warisan Nenek- moyang mereka memang tidak terlalu dihargai oleh banyak pihak, termasuk oleh generasi muda Dayak Kantu’ itu sendiri.

Seperti telah dijelaskan diatas, belakangan Agama Nasarani ( Katholik – Kristen ) telah mampu menjangkau pelosok Kalimantan, terutama Agama Katholik telah mampu merambat  diseluruh Penduduk Suku Dayak Kantu’; sehingga agama Nasarani dianut hampir seluruh Suku Dayak Kantu’, mereka yang menganut Agama Islam memisahkan dirii dari Sukunya dan menamakan diri Melayu – Senganan.

Daerah Dayak Kantu’ yang pertama dikunjungi Missi Katholik setelah  Sejiram  Kecamatan Seberuang adalah Bika yang kini dikenal dangan Paroki Bika Nazareth, selain menyebarkan Pahan Agama Katholik missi tersebut berhasil mendirikan Sekolah Rakyat ( Sekolah Dasar Bersubsidi ) yang kini sudah ditutup.

Missi Katholik memegang peranan penting dalam transportamasi peradaban Suku Dayak Kantu’. Masuk melalui program pendidikan dan kesehatan, missi Katholik pelan- pelan berhasil merangkul komunitas Masyarakat Adat/ Kepercayaan leluhur masih kegeraja mennjadi Nasarani.

Pengaruh Gereja Katholik terlihat pada bagaimana Masyarakat Adat kini tidak ada lagi menggelar upacara Adat besar- besaran seperti zaman dahulu. Bahkan untuk urusan pernikahan, kedua mempelai dengan diikuti para saksi dan orang tua kini cukup naik kealtar Gereja dan meminta berkat Pastor atau Pendet a. Sehingga Bekitau yang selalu digelar pada Acara Adat Jadi Saump kini terlupakan. Gereja Katholik masuk pertama kalinya ke Kalimantan Barat tahun 1865 di Pemangkat, dibawah Koordinasi Vikariat Apostolik Batavia ( Sekarang Jakarta)  dengan motor penggerak para Imam Jesuit. Dari Pemangkat, karya kerasula Gereja Katholik kemudian dikembangkan ke Sejiram ibukota Kecamatan Seberuang, sebagai komuditas Suku Dayak Kantu’ tahun 1890.

Setelah missi Imam Jesuit  karya kerasulan dilanjutkan oleh Kongregrasi Ordo Fratrum Minorium Capocinorum (OMCap )  dari Propinsi Belanda, karya kerasulan di Kabupaten Kapuas Hulu dilanjutkanm diantaranya Bika ibukota Kecamatan Manday ( Sekarang Kecamatan Bika ) yang dikenal dengan Paroki Bika Nazareth.

Karena Geraja Katholik sangat toleransi dengan Adat dan Budaya Masyarakat Adat Suku Dayak Kantu’; proses ingkulturasi dan transpormasi peradaban Suku Dayak Kantu’ didalam gereja berjalan sangat lancer. Pengaruh Gereja Katholik didalam peradaban Suku Dayak Kantu’ bisa dilihat dari “TATANAN HUKUM ADAT YANG MENGANUT PERKAWINAN MONOGAMI” poligami dan poliandri sangat dilarang oleh adat mereka.

 

BAB III

BAGAIMANA ADAT- ISTIADAT DAYAK KANTU’ MENYIKAPI ADAT PERKAWINAN

A. SIKAP UMUM ORANG DAYAK KANTU’

LH Kadir (2016 :    ) mengemukakan bahwa beberapa sikap hidup Suku Dayak Kantu’ ( yang penulis kaitkan denga hidup berumah tangga “Jadi Saump” ) baik secara langsung maupun tidak langsung.  Sikap ini hendaknya jangan dipandang sebagai hal yang positif, negatif, kunstruktif atau destruktif dengan tergesa- gesa dari kacamata masyarakat modern, adalah sebagai berikut :

1.  Orang Dayak Kantu’ suka berbagi kemujuran sesamanya.  Daging hasil buruan yang mereka peroleh sering dibagi secara Cuma- Cuma kepada sesama.  Sikap ini lebih kental sewaktu masih menghuni Rumah Panjai ( Betang Panjang ).

2.  Sikap demokratis sebagaio salah satu “Semangat” kehidupan di Rumah Panjai masih dimiliki oleh sebagian besar  orang Dayak Kantu’ meskipun Rumah Panjai telah tiada.  Misalnya kegiatan “Jadi Saump” yang berimplikasi pada kehidupan komunitas, yang biasanya dimusyawarahkan dulu dengan kaum kerabatnya terlebih dahulu.

3.  Orang Dayak Kantu’ mempunyai sikap “hormat yang tinggi kepada alam lingkungan hidupnya” Ini dapat dilihat dari tata cara Adat- istiadat dan Budaya Jadi Saumnp yang menggunakan tanda- tanda dan kejadian alam utuk menentukan hari baik – bulan baikdalam menggelar acara.

4.  Orang Kantu’ umumnya tidak bisa menabung atau merencanakan kehidupan masa depan, sikap- sikap sebagaio manusia peramu belum sepenuhnya mereka tinggalkan. Kebiasaan menyimpan padi ( didalam Gentung – Pasah ) bukan dimaksudkan untuk menabung, tetapi disimpan untuk dimakan. Menabung dalam arti menyimpan untuk masa depan dengan mempertahankan atau menambah nilai ekonomis simpanan belum menjadi kebiasaan mereka.

5.  Karena mereka terbiasa dengan mudah dapat memperoleh sayur- sayuran, buah- buahan, ikan dan binatang yang tersedia dialam sekitarnya, meraka jadi manja dengan alam.

6.  Tidak mengenal system manajemen pasar, walaup[un berageh merupakan budaya mereka, Mereka belum mengenal dan memahami hubungan antara waktu dan nilai ekonomis suatu jenis barang.

7.  Suka merendahkan diri, dengan sikap “Low profile”, tidak pandai menawarkan jasa dengan mempertontonkan ketrampilan atau kebolehannya. Dalam menghjadapi persoalan orang Dayak Kantu’ lebih sukla berdiam diri, sambil mengharapkan agar orang lain dapat menyelami apa keinginan mereka. Menuntut hak hampir tidak dikenal dalam sikap orang Dayak Kantu’.

8.  Orang Dayak Kantu’ gampang cemburu social, iri hati kepada sesama suku.  Orang Dayak Kantu’ yang lebih maju atau tingkat kehidupanan social ekonominya baik biasanya dianggap tidak wajar dan sebaiknya dijauhi. Misalnay seorang Pedagang Dayak Kantu’ dan seorang Pedagang Tionghua dibolehkan bersaing bebas maka hampi dapat dipastikan pedagang Tiongkua yang unggul, karena sikap iri hati masyarakat ( Dayak Kantu’ ) sekitarnya akan terarah kepada sipedagang Dayak Kantu tersebut.

9.  Mudah tersinggung dalam hal yang menyangkut ada- istiadat dan budayanya. Persaan terhina akan menjadi motivasi yang kuat bagi mereka untuk bertindak, sangat disayangkan sikap ini kurang menjadi pembelajaran dalam system pengembangan diri dibidang social kemasyarakatan yang terencana.

10.   Siring kali Dayak Kantu’ menghormati tamu secara berlebihan. Bagi tamu disediakan makanan istimewa yang mereka sendiri mungkin jarang sekali menikmatinya. Penghormatan tamu ini tanpa perhitungan ekonomis.

11.   Sisa- sia kejujuran dan kepolosan orang Dayak Kantu’ dengan  mudah dimanfaatkan untuk menipu mereka sendiri. Meraka mudah terpengaruh oleh kata- kata manis. Dengan sedikit janji lisan saja, orang kain dapat memperoleh keuntungan dari pada mereka.

Sebelas sikap hidup Suku Dayak Kantu’ sengaja dipaparkan disin, sebagai bahan perenungan bagi pasangan mempelai yang mau mengayuh hidup berumah tangga, guna dijadikan panduan dalam hidup berkeluarga nanti.

Dengan demikian Adat dan kebudayaan Dayak Kantu’ tetap mengalir meniti sejarahnya. Proses perubahan alamiah terus dan akan terjadi, yang sekaligus merupakan proses seleksi seirama berjalannya waktu. Dalam proses ini unsur Adat- istiadat dan Budaya yang kuat dan dapat diterima oleh sebagian besar warga serta nilai luhur universal diusahakan tetap bertahandan semakin diperkaya; dan ini hendaknya ditanamkan dikala sepasang mempelai yang mau mkengadakan perkawinan – nikah “ Jadi Saump” karena nanti mereka akan melahirkan keturunan Dayak Kantu’ baru; yang sekaligus generasi penerus “Adat- istiadat dan Budaya Suku Dayak Kantu’ kedepan.  Karena ada dua mecam penggusuran budaya :

Pertama :  Penggususran suatu budaya yang dipandang sebagai interior, akan tetapi sesungguhnya bernilai luhur; oleh budaya dari luar yang  mungkin sesungguhnya tidak lebih baik dari budaya yang digusur. Bukankah kejadian penggusuran budaya secara tidak disengaja atau tidak disadari gampang terjadi.

Kedua : Transpormasi Adat- istiadat dan Budaya Dayak Kantu’ sangat diperlukanuntuk menyelaraskan atau menyesuaikan ungkapan- ungkapan “Adat- istiadat dan Budaya” dengan tuntutan perkembangan akal budi orang Dayak Kantu’ itu sendiri, kemajuan ilmu Pengetahuan dan tehnologi, menguatkan entraksi antar budaya dan perubahan praktis, perubahan lingkungan hidup goegrafis.

Suatu unsur “budaya” dipertahankan (dikembangkan, diperkaya ) atau ditinggalkan atau ditolak tergantung nil;ai- nilai yang tergantung didalamnya. Dengan kesadaran akan nilai- nilai inilah manusia  Dayak Kantu’ menentukan “Adat- Istiadat dan Budaya”nya, karena tanpa kesadaran itu “mungkin terjebak oleh para digma tanpa arti”.

Pemusnahan “Rumah Panjai” masyarakat Dayak Kantu’  merupakan contoh para digma tanpa arti itu. Kenyataannya hidup di “Rumah Panjai”  (Betang Panjang)  yang menganut budaya kekeluargaan menjadi “Rumah Inividu”  yang menganut paham individualistis dan materialistis  tidaklah lebih baik ditinjau dari sikap hidup keseharian Suku Dayak Kantu’.

Dengan memahami sikap hidup Suku Dayak Kantu’, arah dan tujuan serta sasarann transpormasi “ADAT- ISTIADAT DAN BUDAYA” melalui kehidupan social atau lebih spesifik  lagi menumbuh kembangkan sikap hidup pribadi , bersama komunitasnya dengan menitik beratkan kepada  Adat- istiadat dan Budaya, serta tata cara Perkawinan “Jadi Saump”, serta memati lenyapkan sikap hidup yang menggerogoti kemanusiaan. Dalam seluruh proses ini mesti ditetapkan dengan menempatkan sikap hidup sang manusianya, dengan menilik “HUKUM ADAT, ADAT- ISTIADA – BUDAYA” Suku Dayak Kantu’ yang secara rutin ditinjau oleh Fungsional Adat, Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda dan Tokoh Perempuan Suku Dayak Kantu’; khususnya mengenai Adat- istiadat, budaya “Jadi Saump”  setiap lima tahun sekali, adalah sebagai berikut :

  

B. PERKAWINAN

1.  NGUANG URAKNG

Hubungan perkenalan antara muda- mudi pada zaman dahulu  dilingkungan Adat dan Tradisi hidup dan kehidupan Masyarakat Dayak Kantu’ di Rumah Panjai ( Betang Panjang ) melalui acara Pemuda mendatangi Peraduan Wanita waktu malam, disaat orang sedang tidur pulas, disebut Nguang Urakng.

Nguang Urakng berate pacaran  atau mengunjungi pacar atau calon istri. Khususnya pada Masyarakat Suku Kantu’,  menurut sebutan Suku Dayak Iban “Ngayap” dan sebutan Tamabaloh “Mainjani” dan menurut Senganan/ Melayu  menyebutnya “Meraja”.

Semula “Nguang Urakng’ dilakukan diam- diam antar Pemuda dan Pemudi, Pemuda membangunkan Gadis/Pemudi yang dikunjunginya, serta memperkenalkan diri.  Kemudian gadis itu bangun dan mengenal  Pemuda itu, ada dua kemungkina yang akan terjadi :

a.  Jika kehadiran pemuda itu diterima oleh Pemudi, ia diterima untuk ngobrol  bersama, gadis itu mempersilakan Pemuda itu untuk ngobrol sambil baring ( Bahasa Dayak Kantu “ Galei’ ) berate ngobrol sambil baring.

b.  Sebaliknya jika Gadis itu menolak cinta pihak Pemuda, maka pemuda itu disuruh pulang ( Bahasa Dayak Kantu’ deiarkeh Pulai), berarti disuruh pulang. (L H Kadir 2016 : 102 ).

Jika sang Pemuda masih saja nekat dating dan gadis itu masih menoka cintanya, maka orang tua turun tanga menasihat Pemuda tadi, meminta sang Pemuda itu untuk tidak dating lagi  mengunjungi anak gadisnya itu.

Kalau Pemuda itu diterima oleh si Pemudi,  setelah tiga malam berturut- turut  biasanya orang tua bangun dan menanya  (Meresa = memeriksa ) pemuda  dengan mengajukan dua pertanyaan yang kira- kira begini bunyinya : “ Mau benar- benar mengawini anak Gadisnya atau mau main- main ?”> Apabila Pemuda hanya mau main- main, maka  mulai malam itu tidak boleh dating lagi. Tapi jika Pemuda mau mengawini anak gadisnya maka ada dua pertanyaan lagi : “ Nuan kali ka’ ngili’  tau keh ka’ ngulu ?. Artinya : Kamu apa mau kehilir atau mau kehulu ?. Kalau Kehilir berarti Perempuan masuk kekeluarga laki- laki, kalau kehulu berarti laki- laki masuk kerumah perumpuan.

Tapi bila pemuda itu masih ragu- ragu, atau tidak mmemberikan jawaban  oleh orang tua Gadis tadi pemuda tersebut diminta untuk tidak dating lagi mengunjungi anak gadisnya. Kalau Pemuda itu masih nekat dating( nguang ) gadis tersebut, maka pada hari ketiga  (artinya pada hari keenam sejak Pemuda itu dating keperaduan gadis tadi )  belum juga memberikan jawaban, maka keduanya langsung dikawinkan, “dikitau ngau manuk yang disebut “bemata Manuk”, inilah yang disebut “Kawin Tangkap”.

Dalam Masyarakat tradisional  cara pacaran seperti “Nguang Urakng (Kantu’), Ngayap (Iban), Mainjani (Tamambaloh), Meraja ( Senganan ) sangat dihormati. Oleh karena itu walaupun pacaran dilakukan bertahun- tahun sangat jarang terjadi “hamil diluar nikah/ Ngampang. Kehamilan diluar nikah dipandang sebagai  perbuatan yang sangat tercela; sehingga menyebabkan  wanita  (pelaku ) dan keluarganya dikucilkan dari pergaulan masyarakat.

Masyarakat ( Orang ) tidak mau dikunjungi oleh “Wanita yang hamil diluar nikah berikut keluarganya”  karena dianggap dapat mendatangkan mara bahaya. Kalau mereka berkunjung kerumah tetangga, kaum keluarga atau kerabat sanksi HukumAdat “Pemali” sudah menanti, bahkan bisa kena sanksi “Sait Semaya”.Masuknya medernisasi sebagai akibatpengaruh kesejagatan dan pengaruh Pembanguanan sampai kedesa- desa menyebabkan tradisi “ Nguang Urakng, Ngayap, Meraja, Mainjani  dan sejenis tradis seperti itu tidak dapat dipertahankan.  Lebih- lebih setelah  piuhak yang tidak punya ada tersebut mulai ikut- ikutan meniru tradisi tadai  yang bukan miliknya,  yang bisa menyebabkan pencemaran lingkungan dank keseimbangan alam yang sekaligus menyebabkan pencemaran eksestensi budaya tersebut. Sehingga perlahan namun pasti tradisi Nguang Urakng menghilang sejalan dengan perkembangan zaman.

 

2. BUDAYA DAN ADAT JADI SAUMP

Adat- istiadat dan Budaya Perkawinan “Jadi Saump”  yang dimulai dari proses pacaran (Zaman dahulu Nguang Urakng) seperti talah diuraikan diatas, maka sebagai tindak lanjut dari pacaran tadisebelum mencapat jenjang perkawinan atau “Jadi Saump”  Adat Dayak Kantu’ mengaturnya sebagai berikut :

 

a.  BEPINTA’ – BETANYA’/ BEPEKAT:

 

 

LihatTutupKomentar