Panggau Banyau
A. ASAL MULA MANUSIA
Bukti ini diperkuat dengan terdapatnya “ARCA” didekat Kampung/ Desa Lubuk Sabuk Kecamatan Sekayam Kabupaten Sanggau, yang diyakini sebagai TEMAWAI/ TEMAWANG TAMPUN JUAH.
Sejarah lisan dari bebagai Sub Suku Dayak Iban, mengatakan bahwa “DI TEMBAWANG/ TEMAWAI TAMPUN JUAH” sebagai tempat mendapatkan TULAH/ KARMA, yang sekaligus menerima petuah dari “PETARA/PENOMPA” yang menurunkan “HUKUM ADAT” diantaranya Mali ( Ngampang Bedusa, Bejadi Mali ).
Arca tersebut diatas terdiri dari dua sosok Manusia yang mewakili sosok laki- laki dan Perempuan/ wanita serta terdapat Tempayan Tua. Arca tersebut berbahan dasar “BATUAN ANDESIT”.
Kedua Arca yang berbentuk Laki- laki dan Perempuan kondisinya sudah sangat Parah, dimana permukaannya berlumut, jamuran dan ada bagian ARCA yang sudah hilang atau rusak.
Untuk membedakan Arca Perempuan dan arca Laki- laki, karena pada arca Perempuan, dapat dikenal sebab memiliki Payu Dara dan mengggendong anak/ anak berada dipangkuannya.
B. WARISAN BUDAYA
Adalah PAULUS HADI, Bupati Sanggau priode 2014 – 2019 dan
2019 – 2024. Menginisiasi terbentuknya sebuah sejarah salah Satu Suku Dayak di
Kalimantan yaitu, salah satu wilayah atau Komunitas adat di Propinsi Kalimatan
Barat yang bernama TAMPUN JUAH di
Kampung Segumon, Kecamatan Sekayam, yang berhadapan langsung dengan Negara Bagian Sarawak- Federasi Malaysia.
Nama HUTAN ADAT TAMPUN JUAH, yang sedianya hanya satu hetare, sekarang berkembang menjadi 250 (dua ratus lima puluh ) hatare, yang berada ditengah- tengah Perkebunan ( Sawit ) milik Perusahaan Nasional.
Awalnya, Bupati Sanggau PAULUS HADI, membeli lahan situs Pemukiman TAMPUN JUAH dari salah satu warga, dengan luas areal satu hetare, lahan yag sudah dibeli kemudian diserahkan kepada komuditas Masyaraat Adat di Desa Segumon, untuk dikelola, dengan catatan hanya diperbolehkan untuk kegiatan ritual adat, sehingga tidak boleh sama sekali digunakan untuk kepentingan ekonomi Kerakyatan nonkonservasi.
Setelah Masyarakat sepakat menerima hibah Lahan HUTAN CAGAR ADAT TAMPUN JUAH, PAULUS HADI secara kekeluargaan memberikan pemahaman bahwa Situs Pemukiman (Bekas tempat tinggal ) dan Situs Pemujaan ( tempat menggelar ritual adat ) dilindungi didalam Undang- undang Nomor 41 Tahun 1999, tentang KEHUTANAN sehingga harus dienklave dari kegiatan ekonomi non kemersial.
Hasil kompromi masyarakat, ternyata lahan Cagar Adat TAMPUN JUAH yang sudah masuk areal Perkebunan Kelapa Sawit sudah mencapai 249 (dua ratus empat puluh Sembilan ) hetare, karena idealnya mencapai 250 (dua ratus lima puluh ) hetare, kalau dihiung dengan 1 (satu ) hetare yang dihibahkan oleh Paulus Hadi, Bupati Sanggau. (Prode 2014 – 2019 dan 2019 – 2024 ). Lahan 249 Hetare setelah dicek, ternyata sudah berstatus Sertipikat Hak Guna Usaha ( HGU).
Dengan persuasiif Paulus Hadi, menghubungi pihak Perusahaan, dan tercapai kesepakatan, lahan seluas 249 Hetare yang sudah berstatus Sertipikat HGU diputuskan tidak diperpanjang ijinnya; karena secara otomatis berstatus HUTAN CAGAR ADAT TAMPUNJUAH, dan ini diperkuat dengan SURAT KPUTUSAN antar Masyarakat ADAT DESA SEGUMON, KANTOR BADAN PERTANAHAN NASIONAL (BPN ) KABUPATEN SANGGAU dan BUPATI SANGGAU.
Temawai/Temawang Tampun Juah tepatnya berada di areal perbatasan Indonesia – Malaysia, wilayah kuasa hukum Indonesia. Bagi masyarakat setempat dan keturunannya yang sudah menyebar kepelosok Kalimantan “Temawang Tampun Juah” merupakan “SITUS WARISAN BUDAYA”
Ada dua Ketemenggungan di wilayah ini, yaitu “Ketemenggung Sisang dan Bi Somu” dan “Ketemengguan Iban Sebaru’ dari Komunitan Adat Dayak Iban.
Dilokasi tersebut selain tedapat Arca, juga terpasang “Sandung” yaitu “Tiang yang terbuat dari Kayu Belian” dimana diatas Sandung terdapat Patung Burung Enggang.
Arca tersebut diatas, laki- laki dan perempuan, yang berada tida jauh dari Sandung, diyakini sebagai “Padagi” atau “Sesembahan” tempat menggelar sesajen/ Pegela’ – bedara’.
Hutan adat “Tampun Juah” diyakini merupakan hutan adat keramat. Diceritakan dahulu tempat ini dianggap sebagai tanah leluhur, sedikitnya sekitar 59 Sub Suku Dayak Iban dan Bidayuh, yang tersebar di Kalimantan Barat, Malaysia hingga Brunei Darussalam meyakini hal tersebut.
Saban tahun, selalu ada kegiatan adat besar yang digelar ditempat ini dengan didatangi oleh Suku- Bangsa Dayak dari berbagai tempat.
C. LEGENDA
Lebih- kurang 2.000 tahun yang lalu, kehidupan masyarakat
yang tergabung dalam kelompok Ibanic sangat terkait dengan asal- usul nenek-
moyang mereka dari sebuah tempat atau wilayah yang disebut “TEMAWAI/TEMBAWANG
TAMPUN JUAH” yakni sebuah Tembawang dipinggiran hulu Sungai Sekayam Kabupaten
Sanggau Kapuas sekarang, tepatnya
didaerah Kampung Segumon Kecamatan Noyan.
Menurut cerita, masyarakat yang kini disebut Rumpun Ibanic yang masa itu mereka tergabung sebagai masyarakat “PANGGAU BANYAU “ (Kumpulan orang Kayangan dan Manusia), yang kemudian disebut “Urang Negeri Panggau ( Urang Menua)”, yang boleh diartikan Orang yang berasal dari Tanah Kalimantan/ Borneo.
Untuk mengenang sejarah telah dibuat kawasan “HUTAN TAMPUN JUAH” seluas 651 hetar dan telah mendapat pengakuan Pemerintah Indonsia sebagai Hutan Adat Ketemenggung Sisang Kampung Segumon yang telah berjuang salama 7 Tahun lamanya atau sejak tahun 2011 - 2017.
Hutan Adat ini memiliki nilai penting dalam hubungan sipiritual, historis dan budaya yang menghubungkan masyarakat adat dengan leluhurnya
Tempat ini dianggap sebagai tanah leluhur dari banyak Sub Suku Dayak Binayuh/Bidayuh yang tinggal dan berkerabat di Kalimatan Indonesia dan Sarawak Malaysia hingga Brunei Darussalam.
Dikhabarkan, setiap tahun ada kegiatan adat besar digelar dilikasi tersebut, yang didatangi oleh ribuan warga Dayak dari berbagai wilayah Kalimantan Indonesia, Sarawak Malaysia dan Brunei Darussalam.
D. CERITA YANG MENGUKIR SEJARAH
1. PANGGAU BANYAU
Kelompok serumpun Iban, hidup dan begabung, yang disebut
“MASYARAKAT PANGGAU BANYAU” yang diyakini sebagai kumpulan “ORANG- ORANG
KAYANGAN DAN MANUSIA” . Masyarakat “PANGGAU BANYAU” yang kemudian menimbulkan
“BENUA TAMPUN JUAH” yang sekarang lebih dikenal dengan “TEMAWAI TAMPUN JUAH” .
Diceritakan sebelum di TAMPUN JUAH, masyarakat PANGGAU BANYAU tersebar dan hidup disektar “Bukit Kujau” yang diperkirakan disekitar Kabupaten Kapuas Hulu sekarang, yang kemudian pindah kedaerah “ Air Berurung, Balai Bidai, Tinting Lalang Kuning”.
Dalam pengembara dari satu daerah kedaerah lain, kemungkinan
ada juga yang terpisah dan membentuk kelompok atau Suku lain.
TEMBAWANG TAMPUN JUAH, sedianya berasal diwilayah antara
Sungai SAIH desa MELINGGANG (perkampungan Dayak Ibanic ) anak Sungai
Ketungau antara Sungai Sekayam ,
Kecamatan Sekayam Kabupaten Sanggau. Hal ini juga diperkuat oleh keterangan Suku- suku Dayak di
Kabupaten Sanggau, Sadong Sarawak yang juga menyebutkan tempat tinggal asli SUKU BANGSA IBANIC GROUP adalah di TAMPUN JUAH.
Kumpulan nyanyian yang bertemakan tentang “BEDUYA
KASTRIYA/KEPAHLAWANAN SUKU DAYAK VERSI IBANIC , MENGAP BUNGAI TAIN” Suku ini
menyebutkan beberapa orang Tokoh laki- laki yang tergolong sebagai satria atau
Pahlawan , yakni “LAJA, KELING, IJAU, PANDUNG dan PUNGGA’ , sedangkan yang
perempuan KUMANG, BANDDONG, dan BELUNAN atau INAI ABANG/ KARUNG BESI”.
Asal mula, para satria trsebut diatas hidup dan tinggal di
tanah TAMPUN JUAH dan juga berhubungan dengan Suku- suku manusia lainnya.
Dari Kana- kana/ Nsera ini membuktikan bagaimana kenangan
akan perpisahan yang terjadi di TAMPUN JUAH. Sehingga perpisahan tersebut
mereka jadikan sebagai sebuah nostalgia yang dikenal sebagai “BUAH KANA” atau
“BUAH KERINDUAN”
Bukti- bukti kesatria- kesartia itu selalu disebut bahkan
sangat masyhur dalam setiap Nyanyian Kana, bahkan sering dipakai sebagai nama
anak- anak orang Iban, dalam hal ini mengisyaratkan bahwa setiap masyarakat
selalu menginginkan kembali atau merindukan perjumpaan dengan para tokoh itu.
Pada masa lalu, terbersit bahwa masyarakat yang tergabung
dengan kelompok Rumpun Iban, yang disebut Masyarakat PANGGAU BANYAU atau yang disebut “ORANG
MENUA” artinya Orang yang disebut dengan ‘ORANG YANG BERASAL DARI TANAH
INI/BORNEO/KALIMANTAN.
Di TAMPUN JUAH, merupakan tempat pertemuan dan gabungan Suku
Bangsa Ibanic selain itu Suku Bidayuhic juga mengacu kepada Tampun Juah.
Dimasa itu, dikatakan, kehidupan Manusia dan Para Dewa serta
Mahluk Halus, sama seperti Manusia satu dengan yang lainnya, termasuklah
hubungan yang sangat akrab dan harmonis antara Masyarakat Tampun Juah Orang
Buah Kana ( Dewa Pujaan).
Di Tampun Juang akhirnya mereka menentap, ada pendapat yang
mengatakan bahwa di Tampun Juah telah hidup sekelompok manusia yang sekarang
dikenal dengan “DAYAK SISANG’ atau “DAYAK BIDAYUH” yang kemudian “BIDAYUH” dan
“IBAN” bergabung menjadi satu kehidupan.
Titik balik peradaban, terjadi setelah peristiwa Tampun
Juah, yang mengakhiri ‘Hukumam Tampun’ yang sekarang dinilai tidak manusiawi,
apa lagi kalau dikaitkan dengan Agama yang dianut khususnya orang Dayak (
Kristen Katholoik dan Protestan, serta kekhawatiran Dayak yang sudah
dimodernisasi) yang mengorbankan nyawa manusia untuk ritual adat- istiadat,
khususnya keselamatan Menua ( Benua), atau orang sakit yang diganti dengan
Hukum baru yang lebih beradab, diganti dengan Babi atau Ayam serta kelengkapan
lainnya. Jadi disinilah “Peradaban Dayak, khususnya Rumpun Ibanic dan Bedayuhik
dimulai (Pendapat: Institut Dayakologi “TAMPUN JUAH TITIK BALIK PERADABAN
DAYAK, Dayakologi. Id).
2. PENGGOLONGAN KERABAT
Kehidupan di TAMPUN JUAH terbagi dalam tiga statifikasi atau
penggolongan masyarakat, yaitu:
a. BANGSA MASUKA
BANGSA MASUKA/SUKA, adalah kaum Kaya atau Purih Raja,
kelompok ini dalam kehidupan sehari- hari serba berkecukupan, yang digolongkan
kedalam masyarakat yang serba berkecukupan yang digolongkan kedalam kerabat
orang penting atau kerabat Raja.
b. BANGSA MELUAR
BANGSA MELUAR, atau sering disebut Bangsa/ Bansa bebas atau
masyarakat biasa, seseorang yang hidup bebas dari bawah dan tidak bertanggung
jawab atas kegiatan orang lain.
c. BANGSA MELAWANG
BANGSA MELAWANG, adalah golongan masyarakat miskin yang
artinya kehidupannya serba kekurangan dan bergantung pada kontrak kerja, yang
sekarang disebut bekuli untuk membayar segala hutang piutangnya sampai lunas
dan kewajiban lainnya.
d. TEMENGGUNG
TEMENGGUNG adalah jabatan Politis, yang dcieritakan bahwa di
TAMPUN JUAH telah mengatur yang erat
kaitannya dengan kehidupan ritual dan keagamaan. Pemimpin sepiritual mereka adalah sepasang
“SUAMI – ISTRI” yang bernama “AMBUN MANURUN” adalah Laki- laki dan “PUKAT
MENGAWANG” adalah perempuan.
Kedua orang tersebut merupakan symbol penciptaan manusia
pertama kedunia, sesuai dengan arti nama keduanya.
Ambun Manurun, artinya embun yang turun kebumi, simbul dari
seseorang laki- laki, sementara Pukat Mengawan adalah cela- celah dari
Pukat atau jala yang membentang , adalah
simbul dari Wanita.
Embun tersebut melanggar atau menembus celah jala/pukat yang
membentang, melambangkan hubungan intim antara Wanita dan Pria, pasangan Suami
– Istri tersebut, yang melahirkan “Tujuh Orang Anak laki- laki dan Dua Orang
Anak perempuan”, adalah sebagai berikut:
+. Pulang Gana ( Roh Bumi).
+. Puyang Belwan
+. Dara Genuk ( Perempuan).
+. Bejid Manai.
+. Belang Patung.
+. Belang Pinggang.
+. Belang Bau/ Bahu.
+. Dara Kanta’ (Perempuan).
+. Potong Kempat.
+. Bui Nasi ( Awal mula adanya Nasi).
Diyakini Kejadian, bahwa setalah Alam Semesta diciptakan oleh RAJA MANTALA,
maka RAJA MANTALA meniptakan sepasang Manusia dalam dua jenis kelamin, yaitu
seorang Perempuan dan seorang laki- laki. Perempuan diberi nama RUAIMANA
sedangkan yang laki- laki diberi nama BINTANGMUGA.
Kedua Manusia itu diciptakan dari Kayu Belian atau Kayu
Ulin, atau Kayu Besi bahasa latinnya disebut “EUSIDDERAXYLON SWAGERI” dalam
bentuk Pentik ( Patung manusia). Ketika sedang membuat patung (pentik) itu,
datang NGKERASAK ( sejenis Burung Kecil, dengan bulu dada warna kuning,
belakang warna Coklat, parung pajang) lantas bertanya kepada RAJA MANTALA ,
“Mengapa dibuat dari kayu Belian, kalau dibuat dari kayu Belian , pasti mereka
akan panjang umur dan bumi cepat penuh”
bahasa aslinya “ Nama teme Nuan gawai dari Kayu Tebelian Pentik nya’, asa nuan
gawai petek Tebelian lama- lama nadai bayah tanah ngau netai anak Mensia”.
Kemudian Ngkarasak menyarankan, agar manusia dibuat dari
pohon pisang ruran atau dari Kayu
Kumpang (sejenis kayu yang ringan mirip gabus dan mempunyai getah berwarna
merah darah). Setelah dibuat dari Kayu Kumpang ternyata kayu itu tidak dapat
disambung karena mengandung getah, akhirnya Ngkarasak menyarankan dibuat dari
Pisang Ruran. Dalam kejadian ini digambarkan sebagai berikut “ Baru Ia
nebang batang Pisang Ruran dipantap ngau tajab mata bilan, ujung dilumpung keujung
disan, nyak tebaik pulai kedamai betang Meratan, lalu digawai Mentala Tuai SioK
Induk sikok laki” artinya : “ Ditebangnya pohon pisang ruran dengan Mandau,
dipotong lalu dipikul dibawa pulang ke rumah, itu yang dibuat oleh Raja Mantala
menjadi Manusia seorang Perempuan seorang Laki- laki”.
Bintangmuga dan Ruaimana diciptakan oleh RAJA MANTALA dari
Pisang Ruran yang kemudian menjadi suami- istri ( kisah ini dapat ditemukan
dalam kisah “RENUNG TUSUT” ( Lihat L H Kadir
dalam ‘LAGENDA ADAT BUDAYA DAYAK KANTUK SERTA SEJARAH
SINGKAT KEBANGKITAN DAYAK KALIMANTAN BARAT Hal: 25 – 31; Penerbit PT. KANISIUS Anggota IKAPI ).
Lalu anak BINTANGMUGA dan RUAIMANA dapat dibagi dalam tiga
generasi, adalah sebagai berikut :
1. GENARASI PERTAMA:
melahirkan anak- anak yang kemudian menjadi roh- roh halus yang menguasai
bagian- bagian dari Alam Semesta, yang
tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Merka adalah :” Pulang Gana, Dayang
Lemia, Dayang Semita Bunga, Kamba’ Baba,
Buau Nyada, dan Raja Duata”.
2. GENERASI KEDUA: adalah anak- anak yang dilahikan menjadi hewan, atau tumbuh- tumbuhan yang
dapat dilihat oleh Manusia, yaitu “
a. Gendih, adalah
sejenis tumpikan sepeti sarang anai-
anai, yang men
b. Tedung Kaca, (Ular
berbisa, Tedung Piang, Tedung Beraeh/ beraeh, Tedung Piang/ular cobra.
c. Buaya/ sejenis
binatang reptile.
d. Burung Elang.
e. Segala jenis
Tumbuhan Parasit.
Burung Elang dan segala macam Burung, keuali Burung
Ngkarasak.
Dalam Lagenda Dayak Kantuk,
Lang Garuda ( Elang Garuda ) dikenal dengan nama ‘SENGALANG BURUNG’ atau
“SENGIANG BURUNG’yang punya anak tujah bersaudara :”dari yang bungsu bernama
Lemia Teluok yang kemudian menikah dengan Lemambangtuli beranakan “ Demong
Mambai dan Demong Manduh” yang kemudian
menurunkan Suku Dayak Kantu’ atau Kantuk. Demong Mambai bermukim dilambah
Kedang sementara Demong Manuh bermukim di “Peningkih Sarang yang kemudian
menurunkan adat Dayak Kantu’ Malaban.
Segala jenis tumbuhan parasite, Rajang Kemana dan sulur- suluran, Bekantan dan segal jenis Monyet.
3. GENERASI KETIGA: yang setelah menjadi manusia, artinya
setelah meninggal tidak menjelma menjadi mahluk lain, diantaranya :” Pulang Gana/ Puyang Gana,
Belang Pinggang, yang kampung halamannya di Kamung Lubuk Idai ( daerah Ketungau
Hulu), Putung Pandak atau Putung Kempat”
Dari kisah RENUNG SUSUT, RAJA MANTALA menciptakan ALAM
SEMESTA beserta isinya dibagi kedalam
empat tahap, yaitu :
A. Tahap Pertama : RAJA MANTALA meciptakan tanah dalam
keadaan kosong dan tandus tidak ada penghuni sama sekali serta tidak bervariasi
sama sekali, maka oleeh sebab itu
berturut- turut diciptakannya :
1. MUNGGU’ adalah
Bukit kecil menyerupai Gunun.
2. Menciptakan GUNUNG
dengan Lembah, Jurang serta Ngarai.
3. Menciptakan Sungai
dan Laut beserta airnya, beserta Teluk dan Tanjung.
B. Kemudian diciptakannya, Rumput, Kayu, Rotan serta Sulur-
suluran ( Akar ),
C. Raja MANTALA juga selanjutnya menciptakan Tata Surya,
Matahari - Bulan, Bintang besrta Langit.
D. Yang terakhir barulah RAJA MANTALA menciptakan Manusia ( seperti telah diuraikan diatas ).
Dalam RENUNG TUSUT, susunan sisilah asal mula Suku Dayak
Kantu’, penciptaan ISI ALAM SEMESTA serta kelahiran anak- anak BITANGMUGA dan
RUAIMANA, adalah sebagai berikut :
1. Anak yang pertama,
yang terlahir Miring Hidung dan langsung meninggal, disebut NIKA PULANG GANA.
2. Anak kedua,
bernama DAYANG LEMIA, yang langsung terlempar kepohon Tapang atau Pohon Lalau
tempat Lebah Madu bersarang.
3. Anak yang lahir
dari Kandung Kecil/ premature, yang menghilang ke Pegunungan, yang kemudian
menjadi Penguasa Pegunungan, yang dinamai “DAYANG SEMITA BUNGA”.
4. Anak yang
dikandung premature/ lahir dalam
kandungan yang masih muda, yang diantar kedalam Rimba/ Hutan Belantara, yang
kemudian dinamai KAMBA’/ KAMBAK BABA; yaitu mahluk halus yang bisa menjelma
menyerupai Manusia.
5. Anak kelima,
meninggal dan dimakamkan kedalam Hutan Belantara, yang kemudian dinamai BUAU
NYADA, sejenis mahluk halus yang bisa berbunyi menyerupai suara Manusia.
6. Anaknya yang lahir
dan meninggal diantar kelembah yang dalam, yang kemudian dinamai UNTANG ANTA,
mahluk halus yang menguasai Lembah dan Ngarai.
7. Kandung yang
keguguran, bayinya dimakamkan kedalam
hutan, yang disebut GENDIH (Tumpukan Tanah seperti sarang semut) dan
menurut adat Suku Dayak Kantu’ pantang dibuat Ladang
8. Satu anaknya
diantar kebatang kayu, yang kemudian dinamkan ULAR TEDUNG/ ULAR KOBRA.
9. Anak yang lain
diantar keujung/ Langgai Danau, yang kemudian menjadi binatang Reptil – BUAYA.
10. Satu anaknya
lagi, meninggal dan dibawa juga kedanau,
yang kemudian disebut NIKA RAJA DUATA, yang diyakini menjadi Penguasa Keadilan.
11. Kandung yang
keguguran, yang bayinya dimakamkan kehutan belantara, yang kemudian disebut
RAJANG KEMANA ( sejenis parsit yang tumbuh diatas kayu).
12. Satu lagi
anaknya mati, dan diantar kepohon yang sudah mati, yang disebut ‘BURUNG ELANG
GARUDA’.
13. Anak yang
dilahirkan seperti Cucian basah, artinya bersambung terus menerus, yang
kemudian diletakan di Hutan Lindung, yang kemudian menjadi Monyet, BEKANTAN
yang putih dibagian punggungnya.
14. Selanutnya,
belakang ini melahirkan seorang anak laki- laki, yang pertama menjadi manusia,
yang disebut “BUINASI” degan ciri khas luka didada.
15. Lalu anaknya
yang bungsu yang bergelar SIMBANG TEMIANG BAMBU BULAT, yang dibernama “PUTUNG
KEMPAT” atau “PUTUNG PANDAK” adik bungsiu “PULANG GANA”.
E. BUBARNYA TAMPUN JUAH
Karena kejayaan Masyarakat Tampun Juah, sangat terkenal
sampai ke Kerajaan lain, termasuk diantaranya
Kerajaan Sukadana yang terletak di Kabupaten Sukadana – Ketapang.
Kerajaan Sukadana merasa Khawatir mendengar kejayaan Masyarakat Tampun Juah,
hal tersebut mendapat tanggapan yang
negatif dan ditindak lanjuti dengan pernyataan perang terhadap masyarakat
Panggau Banyau/ Sa’ Manua, yang lambat laun menyebabkan TAMPUN JUAH diserang
oleh KERAJAAN SUKADANA.
Kalau disimak sepertinya Kerajaan Sukadana tidak mungkin
menyerang TAMPUN JUAH, karena berdirinya
Kerajan PANGGAU MANYAU jauh seelum
KERAJAAN MAJAPAHIT berdiri, yang lebih tepat diperkirakan begini:
Menjelang kehancuran Kerajaan Panggau Banyau atau yang
dikenal dengan TAMPUN JUAH ( TAMAYO BAIO) kala itu diperintah oleh seorang
‘RAJA’ yng sekaligus menjabat sebagai tokoh spiritual, yaitu “PEMIMPIN
TERTINGGI” seluruh kegiatan di Kota Banyau,
Raja itu bernama AMBUN MANURUN (EMBUN TURUN) ia memiliki Permai Suri
yang bernama PUKAT BENGAWAN dimana perkawinnan mereka dikaruniai oleh sepuluh
anak, seperti dijelaskan diatas.
Dari antara ribuan penduduknya hiduplah dua orang saudara,
yang laki- laki bernama JUAH sedang yang permepuan bernama LEMAY. Kedua anak
muda tersebut melakukan pelanggaran berat, yaitu melakukan hubungan badan
sedarah, atau yang dikenal dengan persetubuhan.
Awalnya JUAH meminta supaya LEMAY mencari kutu
dikepalanya, LEMAY mendapati dua ekor
kutu yang sedang berdekapan diatas kepala JUAH. Karena penasaran ingin
berdekapan seperti dua ekor kutu tersebut, lalu LEMAY mengajak JUAH melakukan seperti sepasang kutu
tersebut.
Ketika sedang berdepan, nafsu birahi sebagai manusia normal
bangkit diantara mereka berdua, hingga perbuatan hubungan suami- istri tidak
terelakan dilakukan. Kejadian ini mengakibatkan LEMAY hamil diluar nikah
tentunya, yang kemudian dirahasiakan oleh kedua orang tua pasangan tersebut.
Selama mengandung Lemay tidak menunjukan gejala apapun, yang
ada ia hanya mengidam ingin memakan hati Kera Putih ( Kera Albino). Untuk
memenuhi keinginan Lemay tersebut, Juah
terpasa berburu kedalam hutan guna
mencari kera tersebut. Ia pergi
hanya membawa sebilah Mandau dan sebatang Sumpit bersama puluhan pematang (
Peluru sumpitan) yang sudah dilumus dengan damek( Ipuh), setelah berhasil
memdapatkan hati kera putih tersebut JUAH segera pulang.
Singkat cerita, sampai saatnya LEMAY melahirkan, sebanyak
tujuh orang anak, untuk menghilangkan jejak agar tidak diketahui oleh
penduduk Panggau Banyau, akhirnya orang
tua Juah berinisiatif atau memilih untuk segera memasukan ketujuh anak
tersebut kedalam sebatang BAMBU BETUNG
(Dendrocalamus asper ) yang berukuran cukup besar, yang kemudian dipotong dan
diambil hanya tujuh ruas diamana bagian atas dibelah atau dibuka, dimana ketujuh
orang bayi tersebut dimasukan kedalam ruas bambu secara berurutan mulai dari
yang tertua sampai yang bungsu.
Ketika dimasukan keruas Bambu, yang sulung dibekali sepotong Logam dan yang bungsu
dibekali bongkahan emas besar yang berbentuk buah mentimun, sementara lima anak
yang lain tanpa dibekali apa- apa.
Setelah itu batang bambu dihanyutkan dengan Lanting Bambu disungai
Sekayam.
Beberapa hari kemudian, perbuatan Keluarga Juah dan Lemay
telah diketahui oleh penduduk Kota Bunyau, mereka berdua ditangkap dan dijatuhi
hukuman mati, eksekusi terhadap Juah dan Lemay dilakukan dengan cara
ditampun, yang dalam bahasa Indonesia
kurang- lebih “Penyambungan”.
Pada saat eksekuai dilakukan, tubuh kedua orang terdakwa itu
disambungkan menjadi satu, tubuh Lemay telentang dan ditimpa dengan tubuh Juah
terlungkun didada Lemay ( saling berhadap-hadapan; yang mana tangan kiri Juah
diikat dengan tangan kanan Lemay begitu sebaliknya. Kemudian tubuh mereka dua ditancapkan dengan bambu, yang kemudian
dihanyutkan di Sungai Sekayam.
Eksekusi dilakukan oleh seorang algojo yang bernama Lujum,
Sejak saat itu Negeri Panggau Banyau
dikenal dengan sebutan Negeri TAMPUN JUAH.
Pada suatu waktu, rombongan pasukan Kayau dari Kerajaan
LAWAI (ULU AIK/ ULU AI’)sedang beristirahat dipinggir Sungai Sakayam. Lalu disaat beristirahat Pemimpin bala Kerajaan LAWAI”SINGA SULONG/JENDERAL SULONG
alias SINGA TEDUNG RUSI atau JENDERAL KING KOBRA tertidur pulas dan bermimpi.
Didalam mimpinya dia mendapat mandat untuk mengambil tujuh orang bayi yang
diletakan dalam tujuh ruas bambu yang
dihanyutkan dengan Lanting Bambu oleh orang tuanya yang bernama JUAH dan LEMAY.
Setelah terbangun, ia
memerintahkan para prajuritnya untuk
mengawasai dan menunggu lanting bambu yang berisi tujuh ruas bambu berisi tujuh
anak manusia. Setelah lanting terseut
lewat, salah satu prajurit menarik lanting tersebut kepinggir, lantas mengambil
tujuh ruas bambu yang berisi anak
manusia, sesuai dengan mimpi Tedung Rosi.
Selanjutnya setelah mendapatkan ketujuh anak manusia didalam Bambu Betung
trsebut, lantas Jenderal Ular Kobra memerintahkan empat orang prajuritnya untuk
pergi melakukan mata- mata ke ibukota Banyau.
Setelah mengetahui keadaan dikota Banyau, keempat orang mata- mata yang diutus
tadi segera kembali kekemah mereka, lantas menceritakan keadaan kota Banyau
kepada Singa Tedung Rusi (Jenderal Ular Cobra ) dan prajurit- prajurit lainnya.
Mereka mengatakan bahwa situasi dan kondisi di ibukota
Kerajaan Panggau Banyau aman dan tenteram, serta penduduknya hidup makmur dan beradab, tetib damai – sejahtera,
didalam kota terdapat bangunan kraton – rumah panjang tempat kediaman Raja, dan
tiga puluh buah Rumah Panjang tempat kediaman penuduknya.
Setelah mendengar laporan dari empat orang prajurit yang
menjadi mata- mata tadi, kemudian timbul keinginan didalam hati Sing Tedong
Rusi ( Jenderal King Kobra) untuk menyerang Ibukota Panggau Banyau tersebut,
guna menjarah semua harta penduduknya dan untuk menangkap banyak ulun (budak)
baru.
Untuk mewujudkan keinginannya tersebut Singa Tedung Rusi
kemudian memerintahkan kembali para prajurit
untuk mengantarkan ketujuh bayi
yang diambil beberapa hari yang lalu kepada RAJA GALOR MANDANG alias
RAJA SIAG BAHULUM( Raja yang semakin memiliki banyak budak) supaya beliau mau
memeliharanya, sekaligus membujuk Raja agar beliau mengirim prajurit tambahan
untuk menyerang Panggau Banyau atau yang kemudian disebut Tampun Juah.
Ketika sampai dikota Labai Lawai, para prajurit yang membawa
ketujuh bayi tersebut segera menghadap Raja GALOR MANDANG untuk mempersembahkan
ketujuh anak tersebut agar menjadi anak angkatnya, yang kebetulan Raja tidak
punya anak. Sekaligus meminta tambahan prajurit untuk menyerang Panggau Banyau.
Setelah mendengar cerita prajurit yang mengantar ketujuh
anak tersebut, akhirnya RAJA GALOR MANDANG setuju, kemudian memerintahkan
pengumpulan prajurit tambahan untuk menyusul pasukan Singa Tedung Rusi.
Singkat cerita ,bala/ mereka berangakat menggunakan beberapa
sampan panjang, dan sampai di kemah
Singa Tedung Rosi, mereka berhenti dan beristirahan seraya untuk mengatur
siasat. Yang kemudian keesak harinya mereka segera bergerak menuju kearah
lokasi dimana Kota Panggau Banyau berada.
Rupanya kedatangan mereka telah diketahui oleh warga Panggau Banyau;
maka bala ( Prajurit ) Panggau Banyau berusaha mempertahankan Panggau Banyau
dari serangan musuh atau dari bala Singa Tedong Rusi, peperangan tidak terhindarkan,
dengan hasil tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Dalam pertempuran
tersebut pasukan Singa Tedung Rosi melarikan diri kearah hilir. Dalam
peperangan tersebut sama- sama menggunakan senjata jarak jauh, seperti Sumpit.
Singa Tedung Rosi tidak mau menyerah begitu saja, dalam
perang yang kedua mereka mengatur siasat dengan menggunakan mahluk halus untuk bersama- sama dengan mereka kembali
menyerang Panggau Banyau, serangan yang kedua juga gagal.
Namun Panglima Tedong Rusi tidak mau mengaku kalah, serangan
yang ketiga Panglima Tedong Rusi menggunakan cara lain, dia
mempengaruhi binatang liar untuk membantu meraka, sepeti Binatang
Remaung/Rimong ( harimau Kaliimantan), Macan ( Harimau Dahan), Beruang, Kijang,
Rusa, Serigala ( Kulang- Kalit), dan hewan lain. Namun serangan yang
menggunakan berbagai jens Binatang dapat dikalahkan oleh bala Panggau Banyau.
Karena masih kurang puas dengan serangan yang ketiga
kalinya, maka Singa Tedung Rusi kembali
mencari cara lain, kali ini prajurit diperintahkan untuk menanam berbagai jenis jamur beracun diladang, dan
sekitar pemukiman masyarakat Kota Panggau Banyau pada malam hari. Akibatnya,
banyak rakyat Kerajaan Panggau Panyau
yang keracunan, akan tetapi dapat disembuhkan dengan menggunakan tanaman
akar dan tumbuhan dihutan lainnya.
Setelah penduduk kota Banyau sembuh dari keracunan kulat
tersebut, ternyata efek dari keracunan kulat tersebut berdampak pada perubahan
intonasi bahasa, logat dan pengucapan kata- kata pada bahasa sehari- hari di
Panggau Banyau.
Pada saat terjadi keracunan dimana- mana, membuat kekuatan
masyarakat Kerajaan Panggau Banyau menjadi rapuh. Hal ini tidak disia- siakan oleh Panglima
Tedung Rusi, sekali lagi mereka mengirmmkan sihir, yakni dengan cara mengotori
setiap tempat kegiatan sehari- hari, seperti tempat pemandian, tempat
air minum, perabot makanan terus menerus muncul tak kunjung selesai dalam
jangka waktu yang lama, akhirnya membuat
masyarakat Tampun Juah atau Panggau Banyau mnjadi setres, sehingga membuat
penduduk TAMPUN JUAH atau KERAJAAN PANGGAU BANYAU menjadi gempar.
Menyikapi masalah ini, para Temenggung segera berkumpul
memecahkan masalah ini. Pekat Banyau (Mupakat Kota Banyau ) memutuskan untuk
meninggalkan Kerajaan Panggau Banyau ( Tampun Juah ) secara berangsur- angsur.
F. KENANGAN LAMA, YANG MENGUKIR SEJARAH
Para Temenggung berkumpul untuk menyelesaikan masalah, PEKAT
BANYAU (MUPAKAT KOTA BANYAU) pun diamabil, dan memutuskan bahwa semua penduduk
terpaksa harus meninggalkan Kota Banyau, secara berangsur- angsur dengan syarat
setiap Rombongan yang berangkat harus dipimpin oleh masing- masing Temenggung,
serta yang berangkat duluan diharuskan memberi tanda dengan menggunakan LELAJOK
(TUNGGUL KAYU) penunjuk arah pada setiap
tempat atau persimpangan yang dilalui oleh kelompoknya, agar diikuti oleh
setiap kelompok yang menyusul belakangan dengan perjanjian : “Jika kelak
menemukan tempat yang subur, nyaman dan cocok, mereka dapat berkumpul lagi dan
memibina kehidupan seperti di Tampun Juah”. Setelah selesai BEPEKAT (BERMUPAKAT
) maka diputuskan siapa yang berangkat duluan, adalah sebagai- berikut :
1. KELOMPOK PERTAMA
Yang pertama kali berangkat adalah Kelompok Kota Banyau yang
keturunan sekarang adalah DAYAK IBAN BATANG LUPAR, Mereka berangkat menyusuri
Sungai Sa’I/ Saih tembus kemuara Sungai Ketungau dan sampai ke Batang ( Sungai
) Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu sekarang. Setelah tinggal beberapa lama di DAS
Lupar atau Sungai Lupar, kelompok ini
kemudian terpecah dan berpisah, dimana kelompok yang bergerak kearah timur,
keturunannya membentuk ketiurunannya membentuk DAYAK KANTU’/ KANTUK.
Sedangkan yang bergerak kedaerah Utara, keturunannya hidup
berbaur dengan suku- suku Dayak Iban lokal asli SARAWAK yakni ORANG/ DAYAK
SEBARU’/ SEBARUK, DAYAK SERIBAS/ SERIBAEH, DAYAK SEBUYAU dan lain- lain.
Para keturunan Dayak Iban yang berasal dari Kota Banyau yang telah berbaur dengan Dayak Iban asli
Sarawak inilah yang sering bercerita tentang asal- usul mereka sebagai orang
yang datang dari Kota Banyau, ibukota Kerajaan BANYAU/ TAMPUN JUAH tersebut.
Jadi tidak benar kalau dikatakan bahwa DAYAK IBAN SARAWAK
seluruhnya berasal dari TAMPUN JUAH, diperikdiksikan sebagian kecil saja yang
datang dari TAMPUN JUAH, hanya mereka telah melebur dengan orang IBAN SARAWAK.
2. KELOMPOK KEDUA
Kelompok ini dipimpin oleh AMBUN MANURUN dan istrinya PUKAT MENGAWAN, mereka
menyusuri Sungai Sa’I lalu masuk ke
Sungai Ketungau dan menetap disepanjang Sungai Ketungau, membentuk kelompok-
kelompok kecill, diantaranya :” BUGAO, BANYUR, TABUN, dan lain- lain”. Dilereng
Gunung Kujau mereka membangun BANDONG ( IBU KOTA) Kerajaan baru. Setelah Ambun
Manurun meninggal dunia, kemudian beliau diganti oleh Putrinya yang bernama
PUTONG KEMPAT.
3. KELOMPOK KETIGA
Kelompok yang trakhir meninggalkan Kota Banyau ibu kota Panggau Banyau ( Tampun Juah ), ini disebabkan adanya salah seorang
peduduknya melahirkan. Kelompok ini dipimpin oleh TUAN GAYAU yaitu pejabat
Temenggung dari wilayah Budhi dan seorang Manuk Sabung ( Prajurit Pengawal )
yang bernama Mualang.
Setalah beberapa lama, akhirnya mereka meninggalkan kota
Banyau, mereka bergerak menyusuri Sungai Sa’I, setelah tiba dimuara Sungai
Ketungau, meraka berbelok memasuki Sungai Ketungau.
Didalam perjalanan, manok Sabung ( Perajurit Pengawal ) yang
bernama MUALANG meninggal dunia dan
dikuburkan ditepi Sungai Ketungau, lalu Mualang diabadikan untuk menybut nama
anak Sungai Ketungau tersebut.
Selanjunya TUAN BUDHI/TUAN GAYAU mengabadaikan nama kelompoknya yang dipimpinnya
menjadi ORANG MUALANG yang berasal dari Sungai Mualang, dan selanjutnya disebut
SUKU MUALANG.
G. KLKH TETAPKAN 15 HUTAN ADAT DI KABUPATEN GUNUNG MAS KALTENG
(SIARAN PERS, Nomor
:SP…/HUMAS/SPPIP/HMS.3/08/2023.)
KLHK menetapkan status 15 HUTAN ADAT seluas , lebih- kurang 68.326 Hetare di Kabupaten Gunung Mas,
tercatat sebagai Kabupaten yang memiliki Hutan Adat terluas se Indonesia.
Momentum penetapan 15 hutan Adat di Gunung Mas ini merupakan
salah sattu capaian positif dalam rangka memperingati Perayaan Hari Masyarakat
Adat Sedunia yang diperingati setiap tanggal 9 Agustus, ujar Wakil Menteri LHK ALUE DOHONG saat menyerahkan
salinan SK Penetapan Status Hutan Adat di Kabupaten Gunung Mas kepada
Bupati Gunung Mas didamping Dorjen PSKL Bambang Supriyanto di Jakarta, Selasa
(8/8 ).
WAMEN ALUE juga menyampaikan Penetapan Hutan Adat diharapkan
dapat meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat serta memberi manfaat nyata kepada masyarakat hari ini dan
kelak kemudian hari Msyarakat Adat itu sendiri.
Masyarakat Hukum Adat merupakan penyeimbang dari globalisasi
dan modernisasi yang terkadang tidak sesuai
dengan kondisi geografis, budaya maupun sosial dari suatu wilayah,
termasuk masyarakat Adat diwilayah Kabupaten Gunung Mas Propinsi Kalimatan Tengah.
Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraaan Lingkungan (PSKL
) Bambang Supiyanto mengatakan berbagai
upaya percepatan dalam rangka pengakuan MHA dan penetapan status Hutan Adat
terus dilakukan. Salah satunya melalui kerja sama antara Tim Terpadu KLHK dengan Kementerian dan Lembaga terkait,
Pemerintah Propinsi dan Pemeritah Kabupaten
Gunung Mas termasuk CSO atau Pendamping, yang dimulai sejak tanggal
10 Februari sampai dengan hari ini
tanggal 8 Agustus 2023. Tim terpadu
dimaksud bekerja berdasrkan Arahan Menteri LHK, dan Supervisi dari Direktur Jenderal PSKL.
Hasil Kerja Tim Terpadu tersebut menjadi ( Rekomendasi Bagi
Bupati Gunung Mas untuk menetapkan 15 (lima belas ) SK Pengakuan dan
Perlindungan MHA sebagai dasar Menteri LHK untuk menetapkan Status Hutan Adat
dengan luas lebih- kurang 68.326 Ha.
Kelima Belas MHA yang ditetapkan Hutan Adatnya terdiri dari
MHA Rungan, MHA Dayak Ngaju Lewu Tehang Manuhing Raya, MHA Dayak Ngaju Lewu
Tumbang Bahanei, MHA Dayak Ot Danum Himba Atang Ambun Liang Bungai, MHA Dayak
Ot Danum Lowu Tumbang Mahuoi, MHA Dayak
Ot Danum Lowu Tumbang Hatung, MHA Dayak
Ngaju Lewu Kuayan, MHA Dayak Ot Danum Tumbang Hanoi, MHA Dayak Ot Danum Lowu
Tumbang Mahuroi, MHA Dayak Ot Danum Lawang Kanji, MHA Dayak Ot Danum Lowu
Karetou Rambangun, MHA Dayak Ot Danum
Lowu Tmbang Maraya, MHA Dayak Ot Danum Lowu Tumbang Posu, dan MHA Dayak Ot
Danum Lowu Tumbang Marikoi.
Jakarta,KLKH, 8 Agustus 2023.
Penanggung Jawab Berita :
Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK
Nunu Angrah.