Panggau Banyau

Panggau Banyau,Warisan Budaya,Legenda Dayak Iban,Cerita Mengukir Sejarah,Penggolongan Kerabat,Bubarnya Tampun Juah,Sanggau,Warisan Budaya,Ibanic
Sumber :Suku Dayak di Borneo

A. ASAL MULA MANUSIA

Suku Bangsa yang sekarang disebut Suku Bangsa Dayak, (Ibanic ) diceritakan pertama kali bermukim disebuah perkampungan ‘PANGGAU BUNYAU’ yang kemudian dikenal dengan ’TAMPUN JUAH’. Disitulah kemudian mereka mulai menyebar kesebuah Pulau Besar, yang oleh Orang Barat dinamai “PULAU BORNEO” yang selanjutnya dinamakan “PULAU KALIMANTAN”, khususnya dibeberapa Kabupaten di KALIMANTAN- BARAT, seperti Kabupaten Sanggau, Kabupaten Meliau, Kabupaten Sintang dan Kabupatten Kapuas Hulu, bahkan sampai ke Sarawak MALAYSIA.

Bukti ini diperkuat dengan terdapatnya “ARCA” didekat Kampung/ Desa Lubuk Sabuk Kecamatan Sekayam Kabupaten Sanggau, yang diyakini sebagai  TEMAWAI/ TEMAWANG TAMPUN JUAH.

Sejarah lisan dari bebagai Sub Suku Dayak Iban, mengatakan bahwa “DI TEMBAWANG/ TEMAWAI TAMPUN JUAH” sebagai tempat mendapatkan TULAH/ KARMA, yang sekaligus menerima petuah  dari “PETARA/PENOMPA”  yang menurunkan “HUKUM ADAT” diantaranya Mali ( Ngampang Bedusa, Bejadi Mali ).

Arca tersebut diatas terdiri dari dua sosok Manusia yang mewakili sosok laki- laki dan Perempuan/ wanita serta terdapat Tempayan Tua. Arca tersebut berbahan dasar “BATUAN ANDESIT”.

Kedua Arca yang berbentuk Laki- laki dan Perempuan kondisinya sudah sangat Parah, dimana permukaannya berlumut, jamuran dan ada bagian ARCA yang sudah hilang atau rusak.

Untuk membedakan Arca Perempuan dan arca Laki- laki, karena pada arca Perempuan, dapat dikenal sebab memiliki Payu Dara dan mengggendong anak/ anak berada dipangkuannya.

 

B. WARISAN BUDAYA

Adalah PAULUS HADI, Bupati Sanggau priode 2014 – 2019 dan 2019 – 2024. Menginisiasi terbentuknya sebuah sejarah salah Satu Suku Dayak di Kalimantan yaitu, salah satu wilayah atau Komunitas adat di Propinsi Kalimatan Barat yang bernama  TAMPUN JUAH di Kampung Segumon, Kecamatan Sekayam, yang berhadapan langsung dengan Negara  Bagian Sarawak- Federasi Malaysia.

Nama HUTAN ADAT TAMPUN JUAH, yang sedianya hanya satu hetare, sekarang berkembang menjadi 250 (dua ratus lima puluh ) hatare, yang berada ditengah- tengah Perkebunan ( Sawit ) milik Perusahaan Nasional.

Awalnya, Bupati Sanggau PAULUS HADI, membeli lahan situs Pemukiman TAMPUN JUAH  dari salah satu warga, dengan luas areal satu hetare, lahan yag sudah dibeli kemudian diserahkan kepada komuditas Masyaraat Adat di Desa Segumon, untuk dikelola, dengan catatan hanya diperbolehkan untuk kegiatan ritual adat, sehingga tidak boleh sama sekali digunakan untuk kepentingan ekonomi Kerakyatan nonkonservasi.

Setelah Masyarakat sepakat menerima hibah Lahan HUTAN CAGAR ADAT TAMPUN JUAH, PAULUS HADI secara kekeluargaan memberikan pemahaman bahwa Situs Pemukiman (Bekas tempat tinggal ) dan Situs Pemujaan ( tempat menggelar ritual adat )  dilindungi didalam Undang- undang Nomor 41 Tahun 1999, tentang KEHUTANAN sehingga harus dienklave dari kegiatan ekonomi non kemersial.

Hasil kompromi masyarakat, ternyata lahan Cagar Adat TAMPUN JUAH yang sudah masuk areal Perkebunan Kelapa Sawit sudah mencapai 249 (dua ratus empat puluh Sembilan ) hetare, karena idealnya mencapai 250 (dua ratus lima puluh ) hetare, kalau dihiung dengan 1 (satu ) hetare yang dihibahkan oleh Paulus Hadi, Bupati Sanggau. (Prode 2014 – 2019 dan 2019 – 2024 ). Lahan 249 Hetare setelah dicek, ternyata sudah berstatus Sertipikat Hak Guna Usaha ( HGU).

Dengan persuasiif Paulus Hadi, menghubungi pihak Perusahaan, dan tercapai kesepakatan, lahan seluas 249 Hetare yang sudah berstatus Sertipikat HGU diputuskan tidak diperpanjang ijinnya; karena secara otomatis berstatus HUTAN CAGAR ADAT TAMPUNJUAH, dan ini diperkuat dengan SURAT KPUTUSAN antar Masyarakat ADAT DESA SEGUMON, KANTOR BADAN PERTANAHAN NASIONAL (BPN ) KABUPATEN SANGGAU dan BUPATI SANGGAU.

Temawai/Temawang Tampun Juah tepatnya berada di areal perbatasan Indonesia – Malaysia, wilayah kuasa hukum Indonesia. Bagi masyarakat setempat dan keturunannya yang sudah menyebar kepelosok Kalimantan “Temawang Tampun Juah” merupakan “SITUS WARISAN BUDAYA”

Ada dua Ketemenggungan di wilayah ini, yaitu “Ketemenggung Sisang dan Bi Somu”  dan “Ketemengguan Iban Sebaru’ dari Komunitan Adat Dayak Iban.

Dilokasi tersebut selain tedapat Arca, juga terpasang “Sandung” yaitu “Tiang yang terbuat dari Kayu Belian” dimana diatas Sandung terdapat Patung Burung Enggang.

Arca tersebut diatas, laki- laki dan perempuan,  yang berada tida jauh dari Sandung, diyakini sebagai “Padagi” atau “Sesembahan” tempat menggelar sesajen/ Pegela’ – bedara’.

Hutan adat “Tampun Juah” diyakini merupakan hutan adat keramat.  Diceritakan dahulu tempat ini dianggap sebagai tanah leluhur, sedikitnya sekitar 59 Sub Suku Dayak Iban dan Bidayuh, yang tersebar di Kalimantan Barat, Malaysia hingga Brunei Darussalam meyakini hal tersebut.

Saban tahun, selalu ada kegiatan adat besar yang digelar ditempat ini dengan didatangi oleh Suku- Bangsa Dayak dari berbagai tempat.

 

C. LEGENDA

Lebih- kurang 2.000 tahun yang lalu, kehidupan masyarakat yang tergabung dalam kelompok Ibanic sangat terkait dengan asal- usul nenek- moyang mereka dari sebuah tempat atau wilayah yang disebut “TEMAWAI/TEMBAWANG TAMPUN JUAH” yakni sebuah Tembawang dipinggiran hulu Sungai Sekayam Kabupaten Sanggau  Kapuas sekarang, tepatnya didaerah Kampung Segumon Kecamatan Noyan.

Menurut cerita, masyarakat yang kini disebut Rumpun Ibanic yang masa itu mereka tergabung sebagai masyarakat “PANGGAU BANYAU “ (Kumpulan orang Kayangan dan Manusia), yang kemudian disebut “Urang Negeri Panggau ( Urang Menua)”, yang boleh diartikan Orang yang berasal dari Tanah Kalimantan/ Borneo.

Untuk mengenang sejarah telah dibuat kawasan “HUTAN TAMPUN JUAH” seluas 651 hetar dan telah mendapat pengakuan Pemerintah Indonsia  sebagai Hutan Adat Ketemenggung Sisang Kampung Segumon  yang telah berjuang salama 7 Tahun lamanya  atau sejak tahun 2011 - 2017.

Hutan Adat ini memiliki nilai penting dalam hubungan sipiritual, historis dan budaya yang menghubungkan masyarakat adat dengan leluhurnya

Tempat ini dianggap sebagai tanah leluhur dari banyak Sub Suku Dayak Binayuh/Bidayuh yang tinggal dan berkerabat di Kalimatan Indonesia dan Sarawak Malaysia hingga Brunei Darussalam.

Dikhabarkan, setiap tahun ada kegiatan adat  besar digelar dilikasi tersebut, yang didatangi oleh ribuan warga Dayak dari berbagai wilayah Kalimantan Indonesia, Sarawak Malaysia dan Brunei Darussalam.

 

D. CERITA YANG MENGUKIR SEJARAH

1. PANGGAU BANYAU

Kelompok serumpun Iban, hidup dan begabung, yang disebut “MASYARAKAT PANGGAU BANYAU” yang diyakini sebagai kumpulan “ORANG- ORANG KAYANGAN DAN MANUSIA” . Masyarakat “PANGGAU BANYAU” yang kemudian menimbulkan “BENUA TAMPUN JUAH” yang sekarang lebih dikenal dengan “TEMAWAI TAMPUN JUAH” .

Diceritakan sebelum di TAMPUN JUAH, masyarakat PANGGAU BANYAU tersebar dan hidup disektar “Bukit Kujau” yang diperkirakan disekitar Kabupaten Kapuas Hulu sekarang, yang kemudian pindah kedaerah “ Air Berurung, Balai Bidai, Tinting Lalang Kuning”.

Dalam pengembara dari satu daerah kedaerah lain, kemungkinan ada juga yang terpisah dan membentuk kelompok atau Suku lain.

TEMBAWANG TAMPUN JUAH, sedianya berasal diwilayah antara Sungai SAIH desa MELINGGANG (perkampungan Dayak Ibanic ) anak Sungai Ketungau  antara Sungai Sekayam , Kecamatan Sekayam Kabupaten Sanggau. Hal ini juga  diperkuat oleh keterangan Suku- suku Dayak di Kabupaten Sanggau, Sadong Sarawak yang juga menyebutkan tempat tinggal  asli SUKU BANGSA IBANIC GROUP  adalah di TAMPUN JUAH.

Kumpulan nyanyian yang bertemakan tentang “BEDUYA KASTRIYA/KEPAHLAWANAN SUKU DAYAK VERSI IBANIC , MENGAP BUNGAI TAIN” Suku ini menyebutkan beberapa orang Tokoh laki- laki yang tergolong sebagai satria atau Pahlawan , yakni “LAJA, KELING, IJAU, PANDUNG dan PUNGGA’ , sedangkan yang perempuan KUMANG, BANDDONG, dan BELUNAN atau INAI ABANG/ KARUNG BESI”.

Asal mula, para satria trsebut diatas hidup dan tinggal di tanah TAMPUN JUAH dan juga berhubungan dengan Suku- suku manusia lainnya.

Dari Kana- kana/ Nsera ini membuktikan bagaimana kenangan akan perpisahan yang terjadi di TAMPUN JUAH. Sehingga perpisahan tersebut mereka jadikan sebagai sebuah nostalgia yang dikenal sebagai “BUAH KANA” atau “BUAH KERINDUAN”

Bukti- bukti kesatria- kesartia itu selalu disebut bahkan sangat masyhur dalam setiap Nyanyian Kana, bahkan sering dipakai sebagai nama anak- anak orang Iban, dalam hal ini mengisyaratkan bahwa setiap masyarakat selalu menginginkan kembali atau merindukan perjumpaan dengan para tokoh itu.

Pada masa lalu, terbersit bahwa masyarakat yang tergabung dengan kelompok Rumpun Iban, yang disebut Masyarakat  PANGGAU BANYAU atau yang disebut “ORANG MENUA” artinya Orang yang disebut dengan ‘ORANG YANG BERASAL DARI TANAH INI/BORNEO/KALIMANTAN.

Di TAMPUN JUAH, merupakan tempat pertemuan dan gabungan Suku Bangsa Ibanic selain itu Suku Bidayuhic juga mengacu kepada Tampun Juah.

Dimasa itu, dikatakan, kehidupan Manusia dan Para Dewa serta Mahluk Halus, sama seperti Manusia satu dengan yang lainnya, termasuklah hubungan yang sangat akrab dan harmonis antara Masyarakat Tampun Juah Orang Buah Kana ( Dewa Pujaan).

Di Tampun Juang akhirnya mereka menentap, ada pendapat yang mengatakan bahwa di Tampun Juah telah hidup sekelompok manusia yang sekarang dikenal dengan “DAYAK SISANG’ atau “DAYAK BIDAYUH” yang kemudian “BIDAYUH” dan “IBAN” bergabung menjadi satu kehidupan.

Titik balik peradaban, terjadi setelah peristiwa Tampun Juah, yang mengakhiri ‘Hukumam Tampun’ yang sekarang dinilai tidak manusiawi, apa lagi kalau dikaitkan dengan Agama yang dianut khususnya orang Dayak ( Kristen Katholoik dan Protestan, serta kekhawatiran Dayak yang sudah dimodernisasi) yang mengorbankan nyawa manusia untuk ritual adat- istiadat, khususnya keselamatan Menua ( Benua), atau orang sakit yang diganti dengan Hukum baru yang lebih beradab, diganti dengan Babi atau Ayam serta kelengkapan lainnya. Jadi disinilah “Peradaban Dayak, khususnya Rumpun Ibanic dan Bedayuhik dimulai (Pendapat: Institut Dayakologi “TAMPUN JUAH TITIK BALIK PERADABAN DAYAK, Dayakologi. Id).


2. PENGGOLONGAN KERABAT

Kehidupan di TAMPUN JUAH terbagi dalam tiga statifikasi atau penggolongan masyarakat, yaitu:

 

a.  BANGSA MASUKA

BANGSA MASUKA/SUKA, adalah kaum Kaya atau Purih Raja, kelompok ini dalam kehidupan sehari- hari serba berkecukupan, yang digolongkan kedalam masyarakat yang serba berkecukupan yang digolongkan kedalam kerabat orang penting atau kerabat Raja.

 

b. BANGSA MELUAR

BANGSA MELUAR, atau sering disebut Bangsa/ Bansa bebas atau masyarakat biasa, seseorang yang hidup bebas dari bawah dan tidak bertanggung jawab atas kegiatan orang lain.

 

c.  BANGSA MELAWANG

BANGSA MELAWANG, adalah golongan masyarakat miskin yang artinya kehidupannya serba kekurangan dan bergantung pada kontrak kerja, yang sekarang disebut bekuli untuk membayar segala hutang piutangnya sampai lunas dan kewajiban lainnya.

 

d. TEMENGGUNG

TEMENGGUNG adalah jabatan Politis, yang dcieritakan bahwa di TAMPUN JUAH  telah mengatur yang erat kaitannya dengan kehidupan ritual dan keagamaan.  Pemimpin sepiritual mereka adalah sepasang “SUAMI – ISTRI” yang bernama “AMBUN MANURUN” adalah Laki- laki dan “PUKAT MENGAWANG” adalah perempuan.

Kedua orang tersebut merupakan symbol penciptaan manusia pertama kedunia, sesuai dengan arti nama keduanya.

Ambun Manurun, artinya embun yang turun kebumi, simbul dari seseorang laki- laki, sementara Pukat Mengawan adalah cela- celah dari Pukat  atau jala yang membentang , adalah simbul dari Wanita.

Embun tersebut melanggar atau menembus celah jala/pukat yang membentang, melambangkan hubungan intim antara Wanita dan Pria, pasangan Suami – Istri tersebut, yang melahirkan “Tujuh Orang Anak laki- laki dan Dua Orang Anak perempuan”, adalah sebagai berikut:

 

+. Pulang Gana ( Roh Bumi).

 

+. Puyang Belwan

 

+. Dara Genuk ( Perempuan).

 

+. Bejid Manai.

 

+. Belang Patung.

 

+. Belang Pinggang.

 

+. Belang Bau/ Bahu.

 

+. Dara Kanta’ (Perempuan).

 

+. Potong Kempat.

 

+. Bui Nasi ( Awal mula adanya Nasi).

 

Diyakini Kejadian, bahwa setalah  Alam Semesta diciptakan oleh RAJA MANTALA, maka RAJA MANTALA meniptakan sepasang Manusia dalam dua jenis kelamin, yaitu seorang Perempuan dan seorang laki- laki. Perempuan diberi nama RUAIMANA sedangkan yang laki- laki diberi nama BINTANGMUGA.

Kedua Manusia itu diciptakan dari Kayu Belian atau Kayu Ulin, atau Kayu Besi bahasa latinnya disebut “EUSIDDERAXYLON SWAGERI” dalam bentuk Pentik ( Patung manusia). Ketika sedang membuat patung (pentik) itu, datang NGKERASAK ( sejenis Burung Kecil, dengan bulu dada warna kuning, belakang warna Coklat, parung pajang) lantas bertanya kepada RAJA MANTALA , “Mengapa dibuat dari kayu Belian, kalau dibuat dari kayu Belian , pasti mereka akan panjang umur  dan bumi cepat penuh” bahasa aslinya “ Nama teme Nuan gawai dari Kayu Tebelian Pentik nya’, asa nuan gawai petek Tebelian lama- lama nadai bayah tanah ngau netai anak Mensia”.

Kemudian Ngkarasak menyarankan, agar manusia dibuat dari pohon pisang ruran atau dari  Kayu Kumpang (sejenis kayu yang ringan mirip gabus dan mempunyai getah berwarna merah darah). Setelah dibuat dari Kayu Kumpang ternyata kayu itu tidak dapat disambung karena mengandung getah, akhirnya Ngkarasak menyarankan dibuat dari Pisang Ruran. Dalam kejadian ini digambarkan sebagai berikut “ Baru Ia nebang  batang Pisang Ruran dipantap ngau   tajab mata bilan, ujung dilumpung keujung disan, nyak tebaik pulai kedamai betang Meratan, lalu digawai Mentala Tuai SioK Induk sikok laki” artinya : “ Ditebangnya pohon pisang ruran dengan Mandau, dipotong lalu dipikul dibawa pulang ke rumah, itu yang dibuat oleh Raja Mantala menjadi Manusia seorang Perempuan seorang Laki- laki”.

Bintangmuga dan Ruaimana diciptakan oleh RAJA MANTALA dari Pisang Ruran yang kemudian menjadi suami- istri ( kisah ini dapat ditemukan dalam kisah “RENUNG TUSUT” ( Lihat L H Kadir

dalam ‘LAGENDA ADAT BUDAYA DAYAK KANTUK SERTA SEJARAH SINGKAT KEBANGKITAN DAYAK KALIMANTAN BARAT Hal: 25 – 31; Penerbit  PT. KANISIUS Anggota IKAPI ).

Lalu anak BINTANGMUGA dan RUAIMANA dapat dibagi dalam tiga generasi, adalah sebagai berikut :

1. GENARASI PERTAMA: melahirkan anak- anak yang kemudian menjadi roh- roh halus yang menguasai bagian- bagian dari Alam  Semesta, yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Merka adalah :” Pulang Gana, Dayang Lemia, Dayang  Semita Bunga, Kamba’ Baba, Buau Nyada, dan Raja Duata”.


2. GENERASI KEDUA: adalah anak- anak yang dilahikan menjadi hewan, atau tumbuh- tumbuhan yang dapat dilihat oleh Manusia, yaitu “

 

a.  Gendih, adalah sejenis tumpikan  sepeti sarang anai- anai, yang men

 

b.  Tedung Kaca, (Ular berbisa, Tedung Piang, Tedung Beraeh/ beraeh, Tedung Piang/ular cobra.

 

c.  Buaya/ sejenis binatang reptile.

 

d.  Burung Elang.

 

e.  Segala jenis Tumbuhan Parasit.

 

Burung Elang dan segala macam Burung, keuali Burung Ngkarasak.

 

Dalam Lagenda Dayak Kantuk,  Lang Garuda ( Elang Garuda ) dikenal dengan nama ‘SENGALANG BURUNG’ atau “SENGIANG BURUNG’yang punya anak tujah bersaudara :”dari yang bungsu bernama Lemia Teluok yang kemudian menikah dengan Lemambangtuli beranakan “ Demong Mambai dan Demong Manduh”  yang kemudian menurunkan Suku Dayak Kantu’ atau Kantuk. Demong Mambai bermukim dilambah Kedang sementara Demong Manuh bermukim di “Peningkih Sarang yang kemudian menurunkan  adat Dayak Kantu’ Malaban.

Segala jenis tumbuhan parasite, Rajang Kemana dan sulur- suluran, Bekantan dan segal jenis Monyet.

 

3. GENERASI KETIGA: yang setelah  menjadi manusia, artinya setelah meninggal tidak menjelma menjadi mahluk lain,  diantaranya :” Pulang Gana/ Puyang Gana, Belang Pinggang, yang kampung halamannya di Kamung Lubuk Idai ( daerah Ketungau Hulu), Putung Pandak atau Putung Kempat”

Dari kisah RENUNG SUSUT, RAJA MANTALA menciptakan ALAM SEMESTA  beserta isinya dibagi kedalam empat tahap, yaitu :

A. Tahap Pertama : RAJA MANTALA meciptakan tanah dalam keadaan kosong dan tandus tidak ada penghuni sama sekali serta tidak bervariasi sama sekali, maka  oleeh sebab itu berturut- turut diciptakannya :

 

1.  MUNGGU’ adalah Bukit kecil menyerupai Gunun.

 

2.  Menciptakan GUNUNG dengan Lembah, Jurang serta Ngarai.

 

3.  Menciptakan Sungai dan Laut beserta airnya, beserta Teluk dan Tanjung.

 

B. Kemudian diciptakannya, Rumput, Kayu, Rotan serta Sulur- suluran ( Akar ),

 

C. Raja MANTALA juga selanjutnya menciptakan Tata Surya, Matahari - Bulan, Bintang besrta Langit.

 

D. Yang terakhir barulah RAJA MANTALA menciptakan  Manusia ( seperti telah diuraikan diatas ).

 

Dalam RENUNG TUSUT, susunan sisilah asal mula Suku Dayak Kantu’, penciptaan ISI ALAM SEMESTA serta kelahiran anak- anak BITANGMUGA dan RUAIMANA, adalah sebagai berikut :

 

1. Anak yang pertama, yang terlahir Miring Hidung dan langsung meninggal, disebut NIKA PULANG GANA.

 

2. Anak kedua, bernama DAYANG LEMIA, yang langsung terlempar kepohon Tapang atau Pohon Lalau tempat Lebah Madu bersarang.

 

3. Anak yang lahir dari Kandung Kecil/ premature, yang menghilang ke Pegunungan, yang kemudian menjadi Penguasa Pegunungan, yang dinamai “DAYANG SEMITA BUNGA”.

 

4. Anak yang dikandung  premature/ lahir dalam kandungan yang masih muda, yang diantar kedalam Rimba/ Hutan Belantara, yang kemudian dinamai KAMBA’/ KAMBAK BABA; yaitu mahluk halus yang bisa menjelma menyerupai Manusia.

 

5. Anak kelima, meninggal dan dimakamkan kedalam Hutan Belantara, yang kemudian dinamai BUAU NYADA, sejenis mahluk halus yang bisa berbunyi menyerupai suara Manusia.

 

6. Anaknya yang lahir dan meninggal diantar kelembah yang dalam, yang kemudian dinamai UNTANG ANTA, mahluk halus yang menguasai Lembah dan Ngarai.

 

7. Kandung yang keguguran, bayinya dimakamkan kedalam  hutan, yang disebut GENDIH (Tumpukan Tanah seperti sarang semut) dan menurut adat Suku Dayak Kantu’ pantang dibuat Ladang

 

8. Satu anaknya diantar kebatang kayu, yang kemudian dinamkan ULAR TEDUNG/ ULAR KOBRA.

 

9. Anak yang lain diantar keujung/ Langgai Danau, yang kemudian menjadi binatang Reptil – BUAYA.

 

10. Satu anaknya lagi, meninggal dan dibawa  juga kedanau, yang kemudian disebut NIKA RAJA DUATA, yang diyakini menjadi Penguasa Keadilan.

 

11. Kandung yang keguguran, yang bayinya dimakamkan kehutan belantara, yang kemudian disebut RAJANG KEMANA ( sejenis parsit yang tumbuh diatas kayu).

 

12. Satu lagi anaknya mati, dan diantar kepohon yang sudah mati, yang disebut ‘BURUNG ELANG GARUDA’.

 

13. Anak yang dilahirkan seperti Cucian basah, artinya bersambung terus menerus, yang kemudian diletakan di Hutan Lindung, yang kemudian menjadi Monyet, BEKANTAN yang putih dibagian punggungnya.

 

14. Selanutnya, belakang ini melahirkan seorang anak laki- laki, yang pertama menjadi manusia, yang disebut “BUINASI” degan ciri khas luka didada.

 

15. Lalu anaknya yang bungsu yang bergelar SIMBANG TEMIANG BAMBU BULAT, yang dibernama “PUTUNG KEMPAT” atau “PUTUNG PANDAK” adik bungsiu “PULANG GANA”.

 

E. BUBARNYA TAMPUN JUAH

Karena kejayaan Masyarakat Tampun Juah, sangat terkenal sampai ke Kerajaan lain, termasuk diantaranya  Kerajaan Sukadana yang terletak di Kabupaten Sukadana – Ketapang. Kerajaan Sukadana merasa Khawatir mendengar kejayaan Masyarakat Tampun Juah, hal tersebut  mendapat tanggapan yang negatif dan ditindak lanjuti dengan pernyataan perang terhadap masyarakat Panggau Banyau/ Sa’ Manua, yang lambat laun menyebabkan TAMPUN JUAH diserang oleh KERAJAAN SUKADANA.

Kalau disimak sepertinya Kerajaan Sukadana tidak mungkin menyerang  TAMPUN JUAH, karena berdirinya Kerajan PANGGAU MANYAU jauh  seelum KERAJAAN MAJAPAHIT berdiri, yang lebih tepat diperkirakan begini:

Menjelang kehancuran Kerajaan Panggau Banyau atau yang dikenal dengan TAMPUN JUAH ( TAMAYO BAIO) kala itu diperintah oleh seorang ‘RAJA’ yng sekaligus menjabat sebagai tokoh spiritual, yaitu “PEMIMPIN TERTINGGI” seluruh kegiatan di Kota Banyau,  Raja itu bernama AMBUN MANURUN (EMBUN TURUN) ia memiliki Permai Suri yang bernama PUKAT BENGAWAN dimana perkawinnan mereka dikaruniai oleh sepuluh anak, seperti dijelaskan diatas.

Dari antara ribuan penduduknya hiduplah dua orang saudara, yang laki- laki bernama JUAH sedang yang permepuan bernama LEMAY. Kedua anak muda tersebut melakukan pelanggaran berat, yaitu melakukan hubungan badan sedarah, atau yang dikenal dengan persetubuhan.

Awalnya JUAH meminta supaya LEMAY mencari kutu dikepalanya,  LEMAY mendapati dua ekor kutu yang sedang berdekapan diatas kepala JUAH. Karena penasaran ingin berdekapan seperti dua ekor kutu tersebut, lalu LEMAY  mengajak JUAH melakukan seperti sepasang kutu tersebut.

Ketika sedang berdepan, nafsu birahi sebagai manusia normal bangkit diantara mereka berdua, hingga perbuatan hubungan suami- istri tidak terelakan dilakukan. Kejadian ini mengakibatkan LEMAY hamil diluar nikah tentunya, yang kemudian dirahasiakan oleh kedua orang tua pasangan tersebut.

Selama mengandung Lemay tidak menunjukan gejala apapun, yang ada ia hanya mengidam ingin memakan hati Kera Putih ( Kera Albino). Untuk memenuhi  keinginan Lemay tersebut, Juah terpasa berburu kedalam hutan guna  mencari kera tersebut.  Ia pergi hanya membawa sebilah Mandau dan sebatang Sumpit bersama puluhan pematang ( Peluru sumpitan) yang sudah dilumus dengan damek( Ipuh), setelah berhasil memdapatkan hati kera putih tersebut JUAH segera pulang.

Singkat cerita, sampai saatnya LEMAY melahirkan, sebanyak tujuh orang anak, untuk menghilangkan jejak agar tidak diketahui oleh penduduk  Panggau Banyau, akhirnya orang tua Juah berinisiatif atau memilih untuk segera memasukan ketujuh anak tersebut  kedalam sebatang BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper ) yang berukuran cukup besar, yang kemudian dipotong dan diambil hanya tujuh ruas diamana bagian atas dibelah atau dibuka, dimana ketujuh orang bayi tersebut dimasukan kedalam ruas bambu secara berurutan mulai dari yang tertua sampai yang bungsu.

Ketika dimasukan keruas Bambu, yang sulung  dibekali sepotong Logam dan yang bungsu dibekali bongkahan emas besar yang berbentuk buah mentimun, sementara lima anak yang lain tanpa dibekali apa- apa.  Setelah itu batang bambu dihanyutkan dengan Lanting Bambu disungai Sekayam.

Beberapa hari kemudian, perbuatan Keluarga Juah dan Lemay telah diketahui oleh penduduk Kota Bunyau, mereka berdua ditangkap dan dijatuhi hukuman mati, eksekusi terhadap Juah dan Lemay dilakukan dengan cara ditampun,  yang dalam bahasa Indonesia kurang- lebih “Penyambungan”.

Pada saat eksekuai dilakukan, tubuh kedua orang terdakwa itu disambungkan menjadi satu, tubuh Lemay telentang dan ditimpa dengan tubuh Juah terlungkun didada Lemay ( saling berhadap-hadapan; yang mana tangan kiri Juah diikat dengan tangan kanan Lemay begitu sebaliknya. Kemudian tubuh mereka  dua ditancapkan dengan bambu, yang kemudian dihanyutkan di Sungai Sekayam.

Eksekusi dilakukan oleh seorang algojo yang bernama Lujum, Sejak  saat itu Negeri Panggau Banyau dikenal dengan sebutan Negeri TAMPUN JUAH.

Pada suatu waktu, rombongan pasukan Kayau dari Kerajaan LAWAI (ULU AIK/ ULU AI’)sedang beristirahat dipinggir Sungai Sakayam.  Lalu disaat beristirahat Pemimpin bala  Kerajaan LAWAI”SINGA SULONG/JENDERAL SULONG alias SINGA TEDUNG RUSI atau JENDERAL KING KOBRA tertidur pulas dan bermimpi. Didalam mimpinya dia mendapat mandat untuk mengambil tujuh orang bayi yang diletakan dalam tujuh ruas bambu  yang dihanyutkan dengan Lanting Bambu oleh orang tuanya yang bernama JUAH dan LEMAY.

Setelah terbangun,  ia memerintahkan para prajuritnya  untuk mengawasai dan menunggu lanting bambu yang berisi tujuh ruas bambu berisi tujuh anak manusia.  Setelah lanting terseut lewat, salah satu prajurit menarik lanting tersebut kepinggir, lantas mengambil tujuh  ruas bambu yang berisi anak manusia, sesuai dengan mimpi Tedung Rosi.

Selanjutnya setelah mendapatkan  ketujuh anak manusia didalam Bambu Betung trsebut, lantas Jenderal Ular Kobra memerintahkan empat orang prajuritnya untuk pergi melakukan mata- mata ke ibukota Banyau.

Setelah mengetahui keadaan dikota  Banyau, keempat orang mata- mata yang diutus tadi segera kembali kekemah mereka, lantas menceritakan keadaan kota Banyau kepada Singa Tedung Rusi (Jenderal Ular Cobra ) dan prajurit- prajurit  lainnya.

Mereka mengatakan bahwa situasi dan kondisi di ibukota Kerajaan Panggau Banyau aman dan tenteram, serta penduduknya hidup  makmur dan beradab, tetib damai – sejahtera, didalam kota terdapat bangunan kraton – rumah panjang tempat kediaman Raja, dan tiga puluh buah Rumah Panjang tempat kediaman penuduknya.

Setelah mendengar laporan dari empat orang prajurit yang menjadi mata- mata tadi, kemudian timbul keinginan didalam hati Sing Tedong Rusi ( Jenderal King Kobra) untuk menyerang Ibukota Panggau Banyau tersebut, guna menjarah semua harta penduduknya dan untuk menangkap banyak ulun (budak) baru.

Untuk mewujudkan keinginannya tersebut Singa Tedung Rusi kemudian memerintahkan kembali para prajurit  untuk mengantarkan ketujuh bayi  yang diambil beberapa hari yang lalu kepada RAJA GALOR MANDANG alias RAJA SIAG BAHULUM( Raja yang semakin memiliki banyak budak) supaya beliau mau memeliharanya, sekaligus membujuk Raja agar beliau mengirim prajurit tambahan untuk menyerang Panggau Banyau atau yang kemudian disebut Tampun Juah.

Ketika sampai dikota Labai Lawai, para prajurit yang membawa ketujuh bayi tersebut segera menghadap Raja GALOR MANDANG untuk mempersembahkan ketujuh anak tersebut agar menjadi anak angkatnya, yang kebetulan Raja tidak punya anak. Sekaligus meminta tambahan prajurit untuk menyerang Panggau Banyau.

Setelah mendengar cerita prajurit yang mengantar ketujuh anak tersebut, akhirnya RAJA GALOR MANDANG setuju, kemudian memerintahkan pengumpulan prajurit tambahan untuk menyusul pasukan Singa Tedung Rusi.

Singkat cerita ,bala/ mereka berangakat menggunakan beberapa sampan  panjang, dan sampai di kemah Singa Tedung Rosi, mereka berhenti dan beristirahan seraya untuk mengatur siasat. Yang kemudian keesak harinya mereka segera bergerak menuju kearah lokasi dimana Kota Panggau Banyau berada.  Rupanya kedatangan mereka telah diketahui oleh warga Panggau Banyau; maka bala ( Prajurit ) Panggau Banyau berusaha mempertahankan Panggau Banyau dari serangan musuh atau dari bala Singa Tedong Rusi, peperangan tidak terhindarkan, dengan hasil tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Dalam pertempuran tersebut pasukan Singa Tedung Rosi melarikan diri kearah hilir. Dalam peperangan tersebut sama- sama menggunakan senjata jarak jauh, seperti Sumpit.

Singa Tedung Rosi tidak mau menyerah begitu saja, dalam perang yang kedua mereka mengatur siasat dengan menggunakan mahluk halus  untuk bersama- sama dengan mereka kembali menyerang Panggau Banyau, serangan yang kedua juga gagal.

Namun Panglima Tedong Rusi tidak mau mengaku kalah, serangan yang ketiga  Panglima  Tedong Rusi menggunakan cara lain, dia mempengaruhi binatang liar untuk membantu meraka, sepeti Binatang Remaung/Rimong ( harimau Kaliimantan), Macan ( Harimau Dahan), Beruang, Kijang, Rusa, Serigala ( Kulang- Kalit), dan hewan lain. Namun serangan yang menggunakan berbagai jens Binatang dapat dikalahkan oleh bala Panggau Banyau.

Karena masih kurang puas dengan serangan yang ketiga kalinya, maka Singa Tedung Rusi  kembali mencari cara lain, kali ini prajurit diperintahkan untuk menanam  berbagai jenis jamur beracun diladang, dan sekitar pemukiman masyarakat Kota Panggau Banyau pada malam hari. Akibatnya, banyak rakyat Kerajaan Panggau Panyau  yang keracunan, akan tetapi dapat disembuhkan dengan menggunakan tanaman akar dan tumbuhan dihutan lainnya.

Setelah penduduk kota Banyau sembuh dari keracunan kulat tersebut, ternyata efek dari keracunan kulat tersebut berdampak pada perubahan intonasi bahasa, logat dan pengucapan kata- kata pada bahasa sehari- hari di Panggau Banyau.

Pada saat terjadi keracunan dimana- mana, membuat kekuatan masyarakat Kerajaan Panggau Banyau menjadi rapuh.  Hal ini tidak disia- siakan oleh Panglima Tedung Rusi, sekali lagi mereka mengirmmkan sihir, yakni dengan cara  mengotori  setiap tempat kegiatan sehari- hari, seperti tempat pemandian, tempat air minum, perabot makanan terus menerus muncul tak kunjung selesai dalam jangka waktu yang lama, akhirnya  membuat masyarakat Tampun Juah atau Panggau Banyau mnjadi setres, sehingga membuat penduduk TAMPUN JUAH atau KERAJAAN PANGGAU BANYAU menjadi gempar.

Menyikapi masalah ini, para Temenggung segera berkumpul memecahkan masalah ini. Pekat Banyau (Mupakat Kota Banyau ) memutuskan untuk meninggalkan Kerajaan Panggau Banyau ( Tampun Juah ) secara berangsur- angsur.

 

F. KENANGAN LAMA, YANG MENGUKIR SEJARAH

Para Temenggung berkumpul untuk menyelesaikan masalah, PEKAT BANYAU (MUPAKAT KOTA BANYAU) pun diamabil, dan memutuskan bahwa semua penduduk terpaksa harus meninggalkan Kota Banyau, secara berangsur- angsur dengan syarat setiap Rombongan yang berangkat harus dipimpin oleh masing- masing Temenggung, serta yang berangkat duluan diharuskan memberi tanda dengan menggunakan LELAJOK (TUNGGUL KAYU) penunjuk arah  pada setiap tempat atau persimpangan yang dilalui oleh kelompoknya, agar diikuti oleh setiap kelompok yang menyusul belakangan dengan perjanjian : “Jika kelak menemukan tempat yang subur, nyaman dan cocok, mereka dapat berkumpul lagi dan memibina kehidupan seperti di Tampun Juah”. Setelah selesai BEPEKAT (BERMUPAKAT ) maka diputuskan siapa yang berangkat duluan, adalah sebagai- berikut :

 

1. KELOMPOK PERTAMA

Yang pertama kali berangkat adalah Kelompok Kota Banyau yang keturunan sekarang adalah DAYAK IBAN BATANG LUPAR, Mereka berangkat menyusuri Sungai Sa’I/ Saih tembus kemuara Sungai Ketungau dan sampai ke Batang ( Sungai ) Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu sekarang. Setelah tinggal beberapa lama di DAS Lupar atau  Sungai Lupar, kelompok ini kemudian terpecah dan berpisah, dimana kelompok yang bergerak kearah timur, keturunannya membentuk ketiurunannya membentuk DAYAK KANTU’/ KANTUK.

Sedangkan yang bergerak kedaerah Utara, keturunannya hidup berbaur dengan suku- suku Dayak Iban lokal asli SARAWAK yakni ORANG/ DAYAK SEBARU’/ SEBARUK, DAYAK SERIBAS/ SERIBAEH, DAYAK SEBUYAU dan lain- lain.

Para keturunan Dayak Iban yang berasal dari Kota Banyau  yang telah berbaur dengan Dayak Iban asli Sarawak inilah yang sering bercerita tentang asal- usul mereka sebagai orang yang datang dari Kota Banyau, ibukota Kerajaan BANYAU/ TAMPUN JUAH tersebut.

 

Jadi tidak benar kalau dikatakan bahwa DAYAK IBAN SARAWAK seluruhnya berasal dari TAMPUN JUAH, diperikdiksikan sebagian kecil saja yang datang dari TAMPUN JUAH, hanya mereka telah melebur dengan orang IBAN SARAWAK.

 

2. KELOMPOK KEDUA

Kelompok ini dipimpin oleh AMBUN MANURUN  dan istrinya PUKAT MENGAWAN, mereka menyusuri  Sungai Sa’I lalu masuk ke Sungai Ketungau dan menetap disepanjang Sungai Ketungau, membentuk kelompok- kelompok kecill, diantaranya :” BUGAO, BANYUR, TABUN, dan lain- lain”. Dilereng Gunung Kujau mereka membangun BANDONG ( IBU KOTA) Kerajaan baru. Setelah Ambun Manurun meninggal dunia, kemudian beliau diganti oleh Putrinya yang bernama PUTONG KEMPAT.

 

3. KELOMPOK KETIGA

Kelompok yang trakhir meninggalkan Kota Banyau  ibu kota Panggau Banyau ( Tampun  Juah ), ini disebabkan adanya salah seorang peduduknya melahirkan. Kelompok ini dipimpin oleh TUAN GAYAU yaitu pejabat Temenggung dari wilayah Budhi dan seorang Manuk Sabung ( Prajurit Pengawal ) yang bernama Mualang.

Setalah beberapa lama, akhirnya mereka meninggalkan kota Banyau, mereka bergerak menyusuri Sungai Sa’I, setelah tiba dimuara Sungai Ketungau, meraka berbelok memasuki Sungai Ketungau.

Didalam perjalanan, manok Sabung ( Perajurit Pengawal ) yang bernama MUALANG  meninggal dunia dan dikuburkan ditepi Sungai Ketungau, lalu Mualang diabadikan untuk menybut nama anak Sungai Ketungau tersebut.  Selanjunya TUAN BUDHI/TUAN GAYAU mengabadaikan nama kelompoknya yang dipimpinnya menjadi ORANG MUALANG yang berasal dari Sungai Mualang, dan selanjutnya disebut SUKU MUALANG.


G. KLKH TETAPKAN 15 HUTAN ADAT DI KABUPATEN GUNUNG MAS KALTENG

(SIARAN PERS,  Nomor :SP…/HUMAS/SPPIP/HMS.3/08/2023.)

KLHK menetapkan status 15 HUTAN ADAT  seluas , lebih- kurang  68.326 Hetare di Kabupaten Gunung Mas, tercatat sebagai Kabupaten yang memiliki Hutan Adat terluas se Indonesia.

Momentum penetapan 15 hutan Adat di Gunung Mas ini merupakan salah sattu capaian positif dalam rangka memperingati Perayaan Hari Masyarakat Adat Sedunia yang diperingati setiap tanggal 9 Agustus, ujar Wakil  Menteri LHK ALUE DOHONG saat menyerahkan salinan SK Penetapan Status Hutan Adat di Kabupaten Gunung Mas kepada Bupati  Gunung Mas didamping  Dorjen PSKL Bambang Supriyanto di Jakarta, Selasa (8/8 ).

WAMEN ALUE juga menyampaikan Penetapan Hutan Adat diharapkan dapat meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat serta memberi  manfaat nyata kepada masyarakat hari ini dan kelak kemudian hari Msyarakat Adat itu sendiri.

Masyarakat Hukum Adat merupakan penyeimbang dari globalisasi dan modernisasi yang terkadang tidak sesuai  dengan kondisi geografis, budaya maupun sosial dari suatu wilayah, termasuk masyarakat Adat diwilayah Kabupaten Gunung Mas  Propinsi Kalimatan Tengah.

Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraaan Lingkungan (PSKL )  Bambang Supiyanto mengatakan berbagai upaya percepatan dalam rangka pengakuan MHA dan penetapan status Hutan Adat terus dilakukan. Salah satunya melalui kerja sama antara Tim Terpadu  KLHK dengan Kementerian dan Lembaga terkait, Pemerintah Propinsi dan Pemeritah Kabupaten  Gunung Mas termasuk CSO atau Pendamping, yang dimulai sejak tanggal 10  Februari sampai dengan hari ini tanggal 8 Agustus 2023. Tim terpadu  dimaksud bekerja berdasrkan Arahan Menteri LHK, dan Supervisi dari  Direktur Jenderal PSKL.

Hasil Kerja Tim Terpadu tersebut menjadi ( Rekomendasi Bagi Bupati Gunung Mas untuk menetapkan 15 (lima belas ) SK Pengakuan dan Perlindungan MHA sebagai dasar Menteri LHK untuk menetapkan Status Hutan Adat dengan luas lebih- kurang 68.326 Ha.

Kelima Belas MHA yang ditetapkan Hutan Adatnya terdiri dari MHA Rungan, MHA Dayak Ngaju Lewu Tehang Manuhing Raya, MHA Dayak Ngaju Lewu Tumbang Bahanei, MHA Dayak Ot Danum Himba Atang Ambun Liang Bungai, MHA Dayak Ot Danum  Lowu Tumbang Mahuoi, MHA Dayak Ot Danum  Lowu Tumbang Hatung, MHA Dayak Ngaju Lewu Kuayan, MHA Dayak Ot Danum Tumbang Hanoi, MHA Dayak Ot Danum Lowu Tumbang Mahuroi, MHA Dayak Ot Danum Lawang Kanji, MHA Dayak Ot Danum Lowu Karetou Rambangun, MHA Dayak Ot  Danum Lowu Tmbang Maraya, MHA Dayak Ot Danum Lowu Tumbang Posu, dan MHA Dayak Ot Danum Lowu Tumbang Marikoi.

 

Jakarta,KLKH, 8 Agustus 2023.

 

Penanggung Jawab Berita :

 

Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK

 

Nunu Angrah.

LihatTutupKomentar